Rabu, 02 November 2016

PRILAKU PRODUSEN



PRILAKU PRODUSEN

Mata kuliah              : Pengantar Ekonomi Islam
Dosen pengampu     : Rasiam, M. A

 


Disusun oleh
Kelompok  8
Kelas 2A


1.      Agustiana                           (11523210)
2.      Angga Prasetya                 (11523106)
3.      Marisa                                (11523204)

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  (IAIN)
PONTIANAK
TAHUN AKADEMIK
2015/2016



A.    Pengertian Produksi
Produksi merupakan urat nadi dalam kegiatan ekonomi. Dalam kehidupan ekonomi, tidak akan pernah ada kegiatan komsumsi, distribusi, ataupun perdagangan barang dan jasa tanpa diawali oleh prosese produksi. Secara umum produksi merupakan proses untuk menghasilkan suatu barang dan jasa, atau proses peningkatan utility (nilai) suatu benda.[1] Dalam istilah ekonomi, produksi merupakan suatu proses (siklus) kegiatan-kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi (amal/kerja, modal, tanah) dalam waktu tertentu.
Dalam sistem ekonomi islam, definisi produksi tidak jauh berbeda dengan apa yang disebutkan di atas. Akan tetapi, dalam sistem ini, ada beberapa nilai yang membuat sistem produksi sedikit berbeda, dimana barang yang ingin diproduksi dan proses produksi serta proses distribusi harus sesuai dengan nilai-nilai syariah.[2] Dalam artian, semua yang bersentuhan  dengan  proses produksi dan distribusi harus dalam kerangka halal. Karena itu, terkadang dalam sistem ekonomi Islam ada pembatasan produksi terhadap barang-barang mewah dan bukan merupakan barang kebutuhan pokok. Dengan tujuan untuk menjaga resources yang ada agar tetap optimal.
Dalam pengertian sederhana, produksi berarti menghasilkan barang atau jasa. Menurut  ilmu ekonomi, pengertian produksi adalah kegiatan menghasilkan barang maupun jasa atau kegiatan menambah nilai kegunaan/manfaat suatu barang.[3]
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa produksi adalah suatu kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa atau menambah nilai kegunaan suatu barang dan jasa.
Adapun ayat al-quran dan hadist yang menyebutkan tentang produksi adalah:
1.      Surah Al-Nahl 65-69
dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran). dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”

Tafsir Ayat:
Menurut Ahmad Mushtafa Al-Maroghi dalam tafsir Al-Maroghi, dalam ayat-ayat ini Allah menyajikan beberapa dalil tauhid, mengingat ia merupakan poros segala permasalahan di dalam agama Islam dan seluruh agama samawi. Maka diterangkan bahwa Dia telah menurunkan hujan dari langit agar dengan hujan itu bumi yang tadinya mati menjadi hidup, kemudian mengeluarkan susu dari binatang ternak, menjadikan khamar,cuka dan manisan dari anggur dan buah kurma, serta mengeluarkan madu dari lebah yang di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan manusia. Seiring dengan penjelasan itu, Allah menjelaskan bahwa Dia mengilhamkan kepada lebah agar membuat sarang dan mencari rezekinya dari segala penjuru bumi.

2.      Hadist

ـ حدَّثنا عثمانُ بنُ الهَيثمِ أخبرَنا ابنُ جُريجٍ قال عمرُو بنُ دِينارٍ قال ابنُ عبَّاسٍ رضيَ اللّهُ عنهما
 «كان ذو المَجازِ وعُكاظٌ مَتْجَرَ الناسِ في الجاهليةِ، فلما جاءَ الإِسلامُ كأنَّهم كرِهوا ذلكَ حتى
 نزلَتْ: {ليس عليكم جُناحٌ أن تَبتغوا فضلاً مِن ربّكم} – البقرة

“Menurut suatu riwayat, pada zaman Jahiliyyah terkenal pasar-pasar bernama Ukadh, Mijnah dan Dzul-Majaz. Kaum Muslimin merasa berdosa apabila berdagang di musim haji di pasar itu. Mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang hal itu. Maka turunlah “Laisa ‘alaikum junahun an tabtaghu fadl-lan min rabbikum” (awal ayat S. 2: 198) yang Membenarkan mereka berdagang di musim haji”.[4]

B.     Macam-macam Produksi

1.      Produksi Barang
Produksi barang dapat dibedakan atas produksi barang konsumsi dan produktif barang modal. Barang konsumsi merupakan barang yang siap untuk dikonsumsi, sedangkan barang modal merupakan barang yang di pergunakan untuk menghasilkan barang berikutnya. Jadi, barang modal tidak dapat digunakan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan.

2.      Produksi Jasa
Produksi jasa dapat dibedakan menjadi jasa yang langsung dapat memenuhi kebutuhan dan jasa yang tidak secara langsung memenuhi kebutuhan. Film perawatan dokter, pengajaran dari seorang guru, ataupun pagelaran musik merupakan contoh produksi jasa yang langsung memenuhi kebutuhan. Sedangkan pengangkutan, pergudangan dan perbankan merupakan contoh produksi yang secara tidak langsung memenuhi kebutuhan.[5]

C.    Produksi dalam Pandangan Islam
Prinsip dasar ekonomi Islam adalah keyakinan kepada Allah SWT. Sebagai Rabb dari alam semesta. Ikrar akan keyakinan ini menjadi pembuka kitab suci umat Islam, dalam ayat: Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (al-Jaatsiyah:13)
Rabb, yang sering kali diterjemahkan ‘Tuhan’ dalam bahasa Indonesia, memiliki makna yang sangat luas, mencakup antara lain ‘pemeliharaan’(al-murabbi), penolong (al-nashir), pemilik (al-malik), yang memperbaiki (al-mushlih), tuan (al-sayyid), dan Wali (al-wali). Konsep ini bermakna bahwa ekonomi Islam berdiri di atas kepercayaan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik dan Pengendali alam raya  yang dengan takdir-Nya menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan ketetapan-Nya (sunnatullah).[6]
Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surat al-Qashash mengingatkan manusia untuk mencari kesejahteraan akhiratan tanpa melupakan urusan dunia. Artinya, urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat. Orang bisa berkompetisi dalam kebaikan untuk urusan dunia, tetapi sejatinya mereka sedang berlomba-lomba mencapai kebaikan di akhirat. Subhanallah.
Islam pun sesungguhnya menerima motif-motif berproduksi seperti pola pikir ekonomi konvensiaonal tadi. Hanya berbeda, lebih jauh Islam juga menjelaskan nilai-nilai moral di samping utilitas ekonomi. Bahkan sebelum itu, Islam menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan.[7] Menurut ajaran Islam, manusia adalah khalifatullah atau wakil Allah di muka bumi dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah kepada-Nya. Dalam QS al-An’aam (6) ayat 165 Allah berfirman yang artinya : Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan kamu atas sebagian (yang lain) beberpa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pernyataan senada juga terdapat pada QS Yunus (10) ayat 14 yang artinya: Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kamu memerhatikan bagaimana kamu berbuat.
Islam juga mengajarkan juga bahwa sebaik-baiknya orang adalah orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi beribadah dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila seseorang tidak bekerja atau berusaha. Dengan demikian, bekerja dan berusaha itu menempati posisi dan peranan yang sangat penting dalam Islam. Sangatlah sulit untuk membayangkan seseorang yang tidak bekerja dan berusaha, terlepas dari bentuk dan jenis pekerjaannya, dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah dan bisa memakmurkan bumi serta bermanfaat bagi masyarakat. Dalam peran sebagai khalifatullah yang membawa rahmatan lil alamin inilah, seseorang produsen tentu tidak akan mengabaikan masalah eksternalitas seperti pencemaran.
            Bagi Islam, memproduksi sesuatu bukanlah sekadar untuk dikonsumsi sendiri atau dijual ke pasar. Dua motivasi ini belum cukup, karena masih terbatas pada fungsi ekonomi. Islam secara khas menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial.[8] Ini tercermin dalam QS. Al-Hadiid (57) ayat 7:
“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka ornag-orang yang beriman  di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”.
Kita harus melakukan hal ini karena memang dalam sebagian harta kita melekat hak orang miskin, baik yang meminta maupun tidak meminta. (QS. 51: 19 dan QS. 70: 25). Agar mampu mengembang fungsi sosial seoptimal mungkin, kegiatan produksi harus melampaui surplus untuk mencukupi keperluan konsumtif dan meraih keuntungan finansial, sehingga bisa berkontribusi kehidupan sosial.
Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak di atas garis optimal. Tingkatan optimal pertama adalah   mengupayakan fungsinya sumber daya insani ke arah pencapaian kondisi full employment, dimana setiap orang bekerja dan menghasikan suatu karya kecuali mereka yang ‘udzur syar’i seperti sakit dan lumpuh. Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dharuriyyat), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier ( tahsiniyyat) secara proporsional. Tentu saja Islam harus memastikan harus memproduksi sesuatu yang halal dan bermanfaat buat masyarakat (thayyib).[9] Target yang harus dicapai secara bertahap adalah kecukupan setiap individu, swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi uamt dan bangsa lain. “Pribadi dan masyarakat muslim itu produktif dan kontributif bagi kesejahteraan dan keadaban  umat manusia. Tidak ada ajaran selain Islam yang menguduskan kerja produksi seperti ini” kata Al-Qardhawi (Qardhawi, 1997). Dalam memandang tenaga kerja, bekerja dan berusaha itu adlah penting, namun bekerja dan berussha haruslah di jalan yang halal dan pekerja perlu tetap dijaga harkat dam martabatnya dan tidak bisa hanya dipandang sebagai faktor produksi saja.
Pada prinsipnya Islam juga lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang memiliki uamg, sehingga memiliki daya beli yang baik. Karena itu bagi Islam, produksi surplus dan berkembang baik secara kuantitatif maupun kualitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat. Apalah artinya produk yang menggunung jika hanya bisa didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak.[10]
Sebagai modal berproduksi, Allah telah menyediakan bumi beserta isinya bagi manusia, untuk diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh umat manusia. Hal ini terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 22 yang artinya: Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia  menurunkan air(hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.


D.    Etika Produksi dalam Islam
Seorang pengusaha muslim terikat dengan beberapa aspek dalam melakukan produksi, antara lain:
1.                  Berproduksi merupakan ibadah, sebagai seorang muslim berproduksi sama artinya dengan mengaktualisasikan keberadaan hidayah Allah yang telah diberikan kepada manusia.[11] Hidayah Allah bagi seorang muslim berfungsi untuk mengatur bagaimana ia berproduksi. Seorang muslim yakin apapun yang diciptakan Allah di bumi ini untuk kebaikan, dan apa pun yang Allah berikan kepada manusia sebagai sarana untuk menyadarkanats fungsinya sebagai seorang khalifah. Allah berfirman dalam surat al-baqarah ayat 29, ’’ Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu’’. Allah menundukkan alam seisinya untuk kehidupan manusia, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Jaatsiyah ayat 13 Allah berfirman “ Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya”. Penciptaan seluruh alam semesta ini bagi seorang muslim bukan merupakan kesia-siaan, sebagaimana surat Al-imran ayat 191, “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.
2.                  Faktor produksi yang digunakan untuk menyelenggarakan proses produksi sifatnya tidak terbatas, manusia perlu berusaha mengoptimalkan segala kemampuannya yang telah Allah berikan.[12] Seorang muslim tidak akan kecil hati bahwa Allah tidak akan memberikan rezeki padanya. Allah berfirman dalam surat Fushshilat ayat 31: “Kamilah pelindung-pelindung dalam kehidupan dunia akhirat; di dalamnya kamu memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.”. Dalam surat Faathir ayat 1, Allah mengatakan “Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Tetapi manusia tidak kan bisa mengelola alam seisinyajika manusia tidak menggunakan akalnya, surat ar-rahman ayat 33, “Hai jin dan manusia jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”.
3.                  Seorang muslim yakin bahwa apa pun yang di usahkannya sesuai ajaran islam tidak membuat hidupnya mkenjadi kesulitan. Sebagaimana dinyatakan allah dalam surah al-Mulk (67) Ayat 15; “ dialah yanmg menjadikan bumi itu mudah bagi kamu maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya.” Allah menciptakan alam sesuai dengan ukuran-ukurannya sehingga timbul kesinambungan antara satu dengan yang lain, dalam surat al-Hijr (15) ayat 19-20 Allah mengatakan:”Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepada-Nya)”. Bahkan, Allah menjamin kehidupan makhluk hidup yang belum dikenal manusia. Dalam surat Huud (11) ayat 6 Allah befirman “ Dan tak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat menyimpannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (lauh Mahfuz)”.
4.                  Berproduksi bukan semata-mata karena keuntungan yang diperolehnya tetapi juga seberapa penting manfaat dari keuntungan tersebut untuk kemanfaatan ( kemaslahatan) masyarakat. Dalam konsep Islam harta adalah titipan Allah yang dipercayakan untuk diberikan kepada orang-orang tertentu, harta bagi seorang muslim bermakna amanah. Maka ia menyadari tidak berhak atas harta tersebut sepenuhnya sebagaimana firman Allah dalam surat adz-Dzaariyaat (51) ayat 19 “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskinyang tidak mendapatkan bagian”. Demikian juga dalam surat al-Maarij (70) ayat 24-25 “ dan orang yang di dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang ( miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa ( yang tidak mau meminta).
5.                  Seorang muslim menghindari praktek produksi yang mengandung  unsur haram atau riba, pasar gelap dan spekulasi. Allah berfirman dalam surat al-Maidah (5) ayat 90: “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khaamar, berjudi, menyembah berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah (perbuatan) keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keuntungan” Ayat lain dalam Ali Imran (3) ayat 130 Allah mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya:Hai orang –orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba denga berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.[13]


Penjelasan ayat: yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi’ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda (Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl). Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

E.     Perilaku Produsen dalam Islam
Perilaku produsen dalam Islam di antaranya : Menghindari sifat tamak dan rakus, tidak melampaui batas serta tidak berbuat zhalim, harus memperhatikan apakah produk itu memberikan manfaat atau tidak, baik ataukah buruk, sesuai dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan etika ataukah tidak. Seorang muslim harus memproduksi yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun masyarakat banyak, tetap dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia. Ayat dan Hadist yang berhubungan dengan Perilaku Produsen yaitu :
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim apabila kamu mengelola urusannya atau bermuamalah dengannya, sekalipun dengan perantaraan wali atau orang yang menerima wasiat darinya, kecuali dengan perlakuan yang sebaik-baiknya dalam memelihara harta dan mengembangkannya, serta lebih mementingkan kemaslahatan dan membelanjakan harta itu untuk kepentingan pendidikan dan pengajarannya. Dengan itu diharapkan akan dapat memperbaiki kehidupannya di dunia dan di akhirat”.[14]

(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”. (Q.S. Al-Muthafifin : 2-3).[15]
Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan”. (Q.S.Hud : 85).[16]
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia, Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (Q.S.An-Nisa : 135)[17]
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Maidah : 8)[18]
Terdapat sabda Nabi SAW, kepada orang-orang yang mempunyai takaran dan timbangan, yaitu sebagai berikut :
إِنَّكُمْ وُلِّيْتُمَ أَمْرًاأَ هْلَكَتْ فِيْهِ اْلأُمَمُ السَّا لِفَةُ قَبْلَكُم
 Sesungguhnya kalian mengurusi suatu perkara yang pernah menyebabkan hancurnya umat-umat dahulu sebelum kalian.”
Dari Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “hendaklah kalian berbuat jujur, karena kejujuran itu menghantar kepada kebaikan, sedangkan kebaikan itu menghantar kepada Surga. Senantiasa orang berbuat jujur dan mencari kejujuran sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kamu dari dusta, karena dusta itu menghantar kepada kejahatan, sedangkan kejahatan itu menghantar kepada Neraka. Senantiasa orang berbuat dusta dan mencari kedustaan sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” Muttafaq ‘alaih.[19]
Dan sesungguhnya Allah Ta’ala tidak membebani seorang pun kecuali yang mampu dia lakukan. Yaitu dengan cara melakukannya tanpa kesusahan dan kesulitan. Artinya Allah tidak mewajibkan atas orang atas orang yang berjual beli bahan makanan atau semisalnya untuk menimbang dan menakarnya dengan cara tidak boleh lebih satu biji pun, akan tetapi mewajibkan kepadanya supaya menepatkan timbangan dan tikaran baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.
Maka hendaklah kalian bersikap adil dalam berbicara apabila kamu mengucapkan suatu perkataan mengenai suatu kesaksiaan atau hukum atas seseorang, sekalipun yang diberi kesaksian atau keputusan itu ada hubungan kerabat denganmu. Karena dengan keadilan urusan-urusan umat dan pribadi menjadi beres, karena keadilan adalah tiang yang kokoh bagi kemakmuran.[20] Oleh karena itu tidak halal bagi seorang Mu’min untuk berpilih kasih dalam berbicara karena adanya hubungan kerabat atau lainnya, sebagaimana menimbang dan menakar harus ada keadilan.
            Diharap agar pembaca dapat memahami bagaimana cara yang baik dalam melakukan kegiatan prilaku produsen dan produksi dalam Islam, sehingga hasil yang didapat tidak berdasarkan jalan yang haram. Karena jika tidak sesuai dengan ajaran Islam, dapat merugikan oraang lain, akibat melampaui batas yang tidak seharusnya dilakukan oleh prilaku produsen dan produksi seperti prilaku produsen yang tamak, mengurangi takaran, dan memproduksi dengan produk yang tidak halal.









DAFTAR PUSTAKA

Echotuts. Pengertian Tujuan dan Produksi. http://www.echotuts.web.id. 09 April 2015 (Diakses pada tanggal 25 April 2016 pukul 21 : 10).
Dipa Anggriawan. Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id. 03 Januari 2011 (Diakses pada tanggal 25 April 2016 pukul 21 : 16).
Marthon, Said Sa’ad. 2007. Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global. Jakarta: Zikrul Hakim.
Nasution, Mustafa Edwin, dkk. 2007. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.
Sudarsono, Heri. 2002. Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta: Ekonisia.
Suprayitno. 2008. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. Malang: UIN Malannng Press.
Syaifurrahman. Ayat dan Hadis Produksi. http://webcache.googleusercontent. com/search?q=cache:LMRrnsyI_3YJ:tugaskuliahsyaifurrahman.blogspot.com/2015/03/ayat-dan-hadisproduksi.html+&cd=1&hl=id&ct=clnk&client=firefox-a.



[1] Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, 2007: 47.
[2] Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, 2007: 47-48.
[3] Eko Suprayitno, Ekonomi Mikro Perspektif Islam, 2008: 157.
[4]Syaifurrahman, ayat dan hadis produksi, http://webcache.googleusercontent. com/search?q=cache:LMRrnsyI_3YJ:tugaskuliahsyaifurrahman.blogspot.com/2015/03/ayat-dan-hadis-produksi.html+&cd=1&hl=id&ct=clnk&client=firefox-a.
[5] Echotuts, Pengertian Tujuan dan Produksi. http://www.echotuts.web.id. 09 April 2015
[6] Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, 2006: 104.
[7] Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, 2006: 105.
[8] Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, 2006: 106.
[9] Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, 2006: 107.
[10] Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, 2006: 108.
[11] A Rahman Ritonga dalam Heri Sudarsono, 2002: 190.
[12] Monzer Kharf dalam Heri Sudarsono, 2002: 191.
[13] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, 2002: 192.


[14] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id 03 Januari 2011
[15] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id 03 Januari 2011
[16] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id. 03 Januari 2011
[17] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id. 03 Januari 2011
[18] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id. 03 Januari 2011
[19] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id. 03 Januari 2011
[20] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id. 03 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar