PRILAKU PRODUSEN
Mata kuliah : Pengantar Ekonomi Islam
Dosen pengampu : Rasiam, M. A
Dosen pengampu : Rasiam, M. A
Disusun oleh
Kelompok 8
Kelas 2A
1.
Agustiana (11523210)
2.
Angga Prasetya (11523106)
3.
Marisa (11523204)
FAKULTAS SYARIAH DAN
EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN
SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
TAHUN AKADEMIK
2015/2016
A.
Pengertian
Produksi
Produksi
merupakan urat nadi dalam kegiatan ekonomi. Dalam kehidupan ekonomi, tidak akan
pernah ada kegiatan komsumsi, distribusi, ataupun perdagangan barang dan jasa
tanpa diawali oleh prosese produksi. Secara umum produksi merupakan proses
untuk menghasilkan suatu barang dan jasa, atau proses peningkatan utility (nilai) suatu benda.[1]
Dalam istilah ekonomi, produksi merupakan suatu proses (siklus)
kegiatan-kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan
memanfaatkan faktor-faktor produksi (amal/kerja, modal, tanah) dalam waktu
tertentu.
Dalam
sistem ekonomi islam, definisi produksi tidak jauh berbeda dengan apa yang
disebutkan di atas.
Akan tetapi, dalam sistem ini, ada beberapa nilai yang membuat sistem produksi
sedikit berbeda, dimana barang yang ingin diproduksi dan proses produksi serta
proses distribusi harus sesuai dengan nilai-nilai syariah.[2]
Dalam artian, semua yang bersentuhan
dengan proses produksi dan
distribusi harus dalam kerangka halal. Karena itu, terkadang dalam sistem ekonomi
Islam ada pembatasan produksi terhadap barang-barang mewah dan bukan merupakan
barang kebutuhan pokok. Dengan tujuan untuk menjaga resources yang ada agar tetap optimal.
Dalam
pengertian sederhana, produksi berarti menghasilkan barang atau jasa. Menurut ilmu ekonomi, pengertian produksi adalah
kegiatan menghasilkan barang maupun jasa atau kegiatan menambah nilai
kegunaan/manfaat suatu barang.[3]
Berdasarkan
pengertian di atas,
dapat disimpulkan bahwa produksi adalah suatu kegiatan yang menghasilkan barang
dan jasa atau menambah nilai kegunaan suatu barang dan jasa.
Adapun ayat al-quran dan hadist yang menyebutkan tentang
produksi adalah:
1.
Surah Al-Nahl 65-69
“dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan
dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi
orang-orang yang mendengarkan (pelajaran). dan Sesungguhnya pada binatang
ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada
apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah,
yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. dan dari buah korma dan
anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang memikirkan. dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah
sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang
dibikin manusia", kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan
tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke
luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat
yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”
Tafsir Ayat:
Menurut Ahmad Mushtafa Al-Maroghi dalam tafsir
Al-Maroghi, dalam ayat-ayat ini Allah menyajikan beberapa dalil tauhid,
mengingat ia merupakan poros segala permasalahan di dalam agama Islam dan
seluruh agama samawi. Maka diterangkan bahwa Dia telah menurunkan hujan dari
langit agar dengan hujan itu bumi yang tadinya mati menjadi hidup,
kemudian mengeluarkan susu dari binatang ternak, menjadikan khamar,cuka dan
manisan dari anggur dan buah kurma, serta mengeluarkan madu dari lebah yang di
dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan manusia. Seiring dengan penjelasan
itu, Allah menjelaskan bahwa Dia mengilhamkan kepada lebah agar membuat sarang
dan mencari rezekinya dari segala penjuru bumi.
2.
Hadist
ـ
حدَّثنا عثمانُ بنُ الهَيثمِ أخبرَنا ابنُ جُريجٍ قال عمرُو بنُ دِينارٍ قال ابنُ
عبَّاسٍ رضيَ اللّهُ عنهما
«كان ذو المَجازِ وعُكاظٌ مَتْجَرَ الناسِ في
الجاهليةِ، فلما جاءَ الإِسلامُ كأنَّهم كرِهوا ذلكَ حتى
نزلَتْ: {ليس عليكم جُناحٌ أن تَبتغوا فضلاً مِن
ربّكم} – البقرة
“Menurut suatu riwayat, pada zaman
Jahiliyyah terkenal pasar-pasar bernama Ukadh, Mijnah dan Dzul-Majaz. Kaum
Muslimin merasa berdosa apabila berdagang di musim haji di pasar itu. Mereka
bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang hal itu. Maka turunlah “Laisa ‘alaikum
junahun an tabtaghu fadl-lan min rabbikum” (awal ayat S. 2: 198) yang
Membenarkan mereka berdagang di musim haji”.[4]
B.
Macam-macam Produksi
1. Produksi Barang
Produksi
barang dapat dibedakan atas produksi barang konsumsi dan produktif barang
modal. Barang konsumsi merupakan barang yang siap untuk dikonsumsi, sedangkan
barang modal merupakan barang yang di pergunakan untuk menghasilkan barang
berikutnya. Jadi, barang modal tidak dapat digunakan secara langsung untuk
memenuhi kebutuhan.
2.
Produksi Jasa
Produksi
jasa dapat dibedakan menjadi jasa yang langsung dapat memenuhi kebutuhan dan
jasa yang tidak secara langsung memenuhi kebutuhan. Film perawatan dokter,
pengajaran dari seorang guru, ataupun pagelaran musik merupakan contoh produksi
jasa yang langsung memenuhi kebutuhan. Sedangkan pengangkutan, pergudangan dan
perbankan merupakan contoh produksi yang secara tidak langsung memenuhi
kebutuhan.[5]
C.
Produksi dalam Pandangan Islam
Prinsip
dasar ekonomi Islam adalah keyakinan kepada Allah SWT. Sebagai Rabb dari alam semesta. Ikrar akan
keyakinan ini menjadi pembuka kitab suci umat Islam, dalam ayat: “Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasan
Allah) bagi kaum yang berfikir.” (al-Jaatsiyah:13)
Rabb, yang
sering kali diterjemahkan ‘Tuhan’ dalam bahasa Indonesia, memiliki makna yang
sangat luas, mencakup antara lain ‘pemeliharaan’(al-murabbi), penolong (al-nashir), pemilik (al-malik), yang memperbaiki (al-mushlih), tuan (al-sayyid), dan Wali (al-wali).
Konsep ini bermakna bahwa ekonomi Islam berdiri di atas kepercayaan bahwa Allah
adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik dan Pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya menghidupkan dan
mematikan serta mengendalikan alam dengan ketetapan-Nya (sunnatullah).[6]
Dengan
keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam
tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting
untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surat al-Qashash
mengingatkan manusia untuk mencari kesejahteraan akhiratan tanpa melupakan
urusan dunia. Artinya, urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh
kesejahteraan akhirat. Orang bisa berkompetisi dalam kebaikan untuk urusan
dunia, tetapi sejatinya mereka sedang berlomba-lomba mencapai kebaikan di akhirat.
Subhanallah.
Islam pun sesungguhnya menerima motif-motif berproduksi
seperti pola pikir ekonomi konvensiaonal tadi. Hanya berbeda, lebih jauh Islam
juga menjelaskan nilai-nilai moral di samping utilitas ekonomi. Bahkan sebelum
itu, Islam menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan.[7]
Menurut ajaran Islam, manusia adalah khalifatullah atau wakil Allah di muka
bumi dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah kepada-Nya.
Dalam QS al-An’aam (6) ayat 165 Allah berfirman yang artinya : Dan Dia lah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan kamu atas sebagian (yang lain)
beberpa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Pernyataan senada juga terdapat pada QS Yunus (10) ayat
14 yang artinya: Kemudian kami jadikan
kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kamu
memerhatikan bagaimana kamu berbuat.
Islam juga mengajarkan juga bahwa sebaik-baiknya orang
adalah orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi
beribadah dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila seseorang tidak
bekerja atau berusaha. Dengan demikian, bekerja dan berusaha itu menempati
posisi dan peranan yang sangat penting dalam Islam. Sangatlah
sulit untuk membayangkan seseorang yang
tidak bekerja dan berusaha, terlepas dari bentuk dan jenis pekerjaannya, dapat
menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah
dan bisa memakmurkan bumi serta bermanfaat bagi masyarakat. Dalam peran sebagai
khalifatullah yang membawa rahmatan lil alamin inilah, seseorang
produsen tentu tidak akan mengabaikan masalah eksternalitas seperti pencemaran.
Bagi Islam, memproduksi sesuatu
bukanlah sekadar untuk dikonsumsi sendiri atau dijual ke pasar. Dua motivasi
ini belum cukup, karena masih terbatas pada fungsi ekonomi. Islam secara khas
menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial.[8]
Ini tercermin dalam QS. Al-Hadiid (57) ayat 7:
“Berimanlah kamu kepada
Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya. Maka ornag-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”.
Kita harus melakukan hal ini karena memang dalam sebagian
harta kita melekat hak orang miskin, baik yang meminta maupun tidak meminta.
(QS. 51: 19 dan QS. 70: 25). Agar mampu mengembang fungsi sosial seoptimal
mungkin, kegiatan produksi harus melampaui surplus untuk mencukupi keperluan
konsumtif dan meraih keuntungan finansial, sehingga bisa berkontribusi
kehidupan sosial.
Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak
di atas garis optimal. Tingkatan optimal pertama adalah mengupayakan fungsinya sumber daya insani ke
arah pencapaian kondisi full employment,
dimana setiap orang bekerja dan menghasikan suatu karya kecuali mereka yang ‘udzur syar’i seperti sakit dan lumpuh.
Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dharuriyyat), lalu kebutuhan sekunder
(hajiyyat) dan kebutuhan tersier ( tahsiniyyat)
secara proporsional. Tentu saja Islam harus memastikan harus memproduksi
sesuatu yang halal dan bermanfaat buat masyarakat (thayyib).[9]
Target yang harus dicapai secara bertahap adalah kecukupan setiap individu,
swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi uamt dan bangsa lain.
“Pribadi dan masyarakat muslim itu produktif dan kontributif bagi kesejahteraan
dan keadaban umat manusia. Tidak ada
ajaran selain Islam yang menguduskan kerja produksi seperti ini” kata
Al-Qardhawi (Qardhawi, 1997). Dalam memandang tenaga kerja, bekerja dan
berusaha itu adlah penting, namun bekerja dan berussha haruslah di jalan yang
halal dan pekerja perlu tetap dijaga harkat dam martabatnya dan tidak bisa
hanya dipandang sebagai faktor produksi saja.
Pada prinsipnya Islam juga lebih menekankan berproduksi
demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi
segelintir orang yang memiliki uamg, sehingga memiliki daya beli yang baik.
Karena itu bagi Islam, produksi surplus dan berkembang baik secara kuantitatif
maupun kualitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi
masyarakat. Apalah artinya produk yang menggunung jika hanya bisa didistribusikan
untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak.[10]
Sebagai modal berproduksi, Allah telah menyediakan bumi
beserta isinya bagi manusia, untuk diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh
umat manusia. Hal ini terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 22 yang artinya: Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap, dan dia
menurunkan air(hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan
itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; Karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
D.
Etika Produksi dalam Islam
Seorang
pengusaha muslim terikat dengan beberapa aspek dalam melakukan produksi, antara
lain:
1.
Berproduksi merupakan ibadah, sebagai
seorang muslim berproduksi sama
artinya dengan mengaktualisasikan keberadaan hidayah Allah yang telah diberikan
kepada manusia.[11]
Hidayah Allah bagi seorang muslim berfungsi untuk mengatur bagaimana ia
berproduksi. Seorang muslim yakin apapun yang diciptakan Allah di bumi ini
untuk kebaikan, dan apa pun yang Allah berikan kepada manusia sebagai sarana
untuk menyadarkanats fungsinya sebagai seorang khalifah. Allah berfirman dalam
surat al-baqarah ayat 29, ’’ Dialah Allah
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu’’. Allah menundukkan
alam seisinya untuk kehidupan manusia, sebagaimana firman-Nya dalam surat
al-Jaatsiyah ayat 13 Allah berfirman “
Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya”. Penciptaan seluruh alam semesta ini bagi seorang muslim bukan
merupakan kesia-siaan, sebagaimana surat Al-imran ayat 191, “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia”.
2.
Faktor produksi yang
digunakan untuk menyelenggarakan proses produksi sifatnya tidak
terbatas, manusia perlu berusaha mengoptimalkan segala kemampuannya yang telah
Allah berikan.[12]
Seorang muslim tidak akan kecil hati bahwa Allah tidak akan memberikan rezeki
padanya. Allah berfirman dalam surat Fushshilat ayat 31: “Kamilah pelindung-pelindung dalam kehidupan dunia akhirat; di dalamnya
kamu memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.”. Dalam surat
Faathir ayat 1, Allah mengatakan “Allah
menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”. Tetapi manusia tidak
kan bisa mengelola alam seisinyajika manusia tidak menggunakan akalnya, surat
ar-rahman ayat 33, “Hai jin dan manusia
jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”.
3.
Seorang muslim yakin
bahwa apa pun yang di usahkannya sesuai ajaran islam tidak membuat
hidupnya mkenjadi kesulitan. Sebagaimana dinyatakan allah dalam surah al-Mulk
(67) Ayat 15; “ dialah yanmg menjadikan
bumi itu mudah bagi kamu maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah
sebagian dari rezekinya.” Allah menciptakan alam sesuai dengan
ukuran-ukurannya sehingga timbul kesinambungan antara satu dengan yang lain,
dalam surat al-Hijr (15) ayat 19-20 Allah mengatakan:”Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya
gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan
kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami
menciptakan pula) makhluk-makluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki
kepada-Nya)”. Bahkan, Allah menjamin kehidupan makhluk hidup yang belum dikenal
manusia. Dalam surat Huud (11) ayat 6 Allah befirman “ Dan tak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allahlah yang memberi rezekinya dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu
dan tempat menyimpannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (lauh Mahfuz)”.
4.
Berproduksi bukan
semata-mata karena keuntungan yang diperolehnya tetapi juga seberapa penting
manfaat dari keuntungan tersebut untuk kemanfaatan ( kemaslahatan) masyarakat.
Dalam konsep Islam harta adalah titipan Allah yang dipercayakan untuk diberikan
kepada orang-orang tertentu, harta bagi seorang muslim bermakna amanah. Maka ia
menyadari tidak berhak atas harta tersebut sepenuhnya sebagaimana firman Allah
dalam surat adz-Dzaariyaat (51) ayat 19
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskinyang tidak mendapatkan bagian”. Demikian juga dalam surat al-Maarij
(70) ayat 24-25 “ dan orang yang di dalam
hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang ( miskin) yang meminta dan orang
yang tidak mempunyai apa-apa ( yang tidak mau meminta).
5.
Seorang muslim
menghindari praktek produksi yang mengandung
unsur haram atau riba, pasar gelap dan spekulasi. Allah berfirman dalam
surat al-Maidah (5) ayat 90: “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya
(meminum) khaamar, berjudi, menyembah berhala dan mengundi nasib dengan panah
adalah (perbuatan) keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keuntungan” Ayat lain dalam Ali
Imran (3) ayat 130 Allah mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ
الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “ Hai orang –orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba denga
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”.[13]
Penjelasan
ayat: yang dimaksud riba di sini ialah riba
nasi’ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi’ah itu selamanya haram,
walaupun tidak berlipat ganda (Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl). Riba nasiah ialah
pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah
penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak
jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas
dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat
ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab
zaman jahiliyah.
E.
Perilaku Produsen dalam Islam
Perilaku produsen dalam Islam di antaranya : Menghindari sifat tamak dan rakus, tidak
melampaui batas serta tidak berbuat zhalim, harus memperhatikan apakah produk itu memberikan manfaat atau tidak, baik
ataukah buruk, sesuai dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan etika
ataukah tidak. Seorang muslim harus memproduksi
yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun masyarakat banyak, tetap
dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia. Ayat dan Hadist yang berhubungan dengan Perilaku Produsen yaitu :
“Dan janganlah
kamu mendekati harta anak yatim apabila kamu mengelola urusannya atau
bermuamalah dengannya, sekalipun dengan perantaraan wali atau orang yang
menerima wasiat darinya, kecuali dengan perlakuan yang sebaik-baiknya dalam
memelihara harta dan mengembangkannya, serta lebih mementingkan kemaslahatan
dan membelanjakan harta itu untuk kepentingan pendidikan dan pengajarannya.
Dengan itu diharapkan akan dapat memperbaiki kehidupannya di dunia dan di
akhirat”.[14]
“(yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”. (Q.S.
Al-Muthafifin : 2-3).[15]
Dan Syu'aib
berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan
janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu
membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan”. (Q.S.Hud : 85).[16]
“Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. jika ia, Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan”. (Q.S.An-Nisa : 135)[17]
“Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S.
Al-Maidah : 8)[18]
Terdapat sabda
Nabi SAW, kepada
orang-orang yang mempunyai takaran dan timbangan, yaitu sebagai berikut :
إِنَّكُمْ
وُلِّيْتُمَ أَمْرًاأَ هْلَكَتْ فِيْهِ اْلأُمَمُ السَّا لِفَةُ قَبْلَكُم
“Sesungguhnya kalian mengurusi suatu perkara yang pernah
menyebabkan hancurnya umat-umat dahulu sebelum kalian.”
Dari Ibnu
Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallam
bersabda, “hendaklah kalian berbuat jujur, karena kejujuran itu menghantar
kepada kebaikan, sedangkan kebaikan itu menghantar kepada Surga. Senantiasa orang berbuat jujur dan
mencari kejujuran sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Hati-hatilah kamu dari dusta, karena dusta itu menghantar kepada kejahatan,
sedangkan kejahatan itu menghantar kepada Neraka. Senantiasa orang berbuat
dusta dan mencari kedustaan sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” Muttafaq ‘alaih.[19]
Dan sesungguhnya Allah Ta’ala tidak membebani seorang pun kecuali
yang mampu dia lakukan. Yaitu dengan cara melakukannya tanpa kesusahan dan
kesulitan. Artinya Allah tidak mewajibkan atas orang atas orang yang berjual
beli bahan makanan atau semisalnya untuk menimbang dan menakarnya dengan cara
tidak boleh lebih satu biji pun, akan tetapi mewajibkan kepadanya supaya
menepatkan timbangan dan tikaran baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang
lain.
Maka hendaklah kalian bersikap adil dalam berbicara
apabila kamu mengucapkan suatu perkataan mengenai suatu kesaksiaan atau hukum
atas seseorang, sekalipun yang diberi kesaksian atau keputusan itu ada hubungan
kerabat denganmu. Karena
dengan keadilan urusan-urusan umat dan pribadi menjadi beres, karena keadilan
adalah tiang yang kokoh bagi kemakmuran.[20]
Oleh karena itu tidak halal bagi seorang Mu’min untuk berpilih kasih dalam
berbicara karena adanya hubungan kerabat atau lainnya, sebagaimana menimbang
dan menakar harus ada keadilan.
Diharap agar pembaca
dapat memahami bagaimana cara yang baik dalam melakukan kegiatan prilaku
produsen dan produksi dalam Islam, sehingga hasil yang didapat tidak
berdasarkan jalan yang haram. Karena jika tidak sesuai dengan ajaran Islam,
dapat merugikan oraang lain, akibat melampaui batas yang tidak seharusnya
dilakukan oleh prilaku produsen dan produksi seperti prilaku produsen yang
tamak, mengurangi takaran, dan memproduksi dengan produk yang tidak halal.
DAFTAR PUSTAKA
Echotuts. Pengertian Tujuan dan Produksi. http://www.echotuts.web.id. 09 April 2015 (Diakses
pada tanggal 25 April 2016 pukul 21 : 10).
Dipa Anggriawan. Perilaku
Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id. 03 Januari 2011
(Diakses pada tanggal 25 April 2016 pukul 21 : 16).
Marthon,
Said Sa’ad. 2007. Ekonomi Islam di Tengah
Krisis Ekonomi Global. Jakarta: Zikrul Hakim.
Nasution,
Mustafa Edwin, dkk. 2007. Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.
Sudarsono,
Heri. 2002. Konsep Ekonomi Islam.
Yogyakarta: Ekonisia.
Suprayitno.
2008. Ekonomi Mikro Perspektif Islam.
Malang: UIN Malannng Press.
Syaifurrahman.
Ayat dan Hadis Produksi. http://webcache.googleusercontent. com/search?q=cache:LMRrnsyI_3YJ:tugaskuliahsyaifurrahman.blogspot.com/2015/03/ayat-dan-hadisproduksi.html+&cd=1&hl=id&ct=clnk&client=firefox-a.
[4]Syaifurrahman, ayat dan hadis produksi, http://webcache.googleusercontent. com/search?q=cache:LMRrnsyI_3YJ:tugaskuliahsyaifurrahman.blogspot.com/2015/03/ayat-dan-hadis-produksi.html+&cd=1&hl=id&ct=clnk&client=firefox-a.
[14] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id 03 Januari 2011
[15] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id 03 Januari 2011
[16] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id. 03 Januari 2011
[17] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id. 03 Januari
2011
[18] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id. 03 Januari
2011
[19] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id. 03 Januari
2011
[20] Dipa Anggriawan, Perilaku Produsen Dalam Islam. http://dipaanggriawan.blogspot.co.id. 03 Januari
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar