Minggu, 23 Oktober 2016

TUGAS KULIAH: USHUL FIQIH 1 HUKUM SYARA



HUKUM SYARA

Mata kuliah                : Ushul Fiqh 1
Dosen penganmpu     : 1. Hamka Siregar, M.Ag.
 2.Nurul Rahmawati, S.Pdi, M.HI


 
Disusun oleh
Kelompok  3
Kelas 1A


1.      Agustiana                           (11523210)
2.      Andika Agust D.M           (11523189)
3.      Andri Gussiyarno             (11523142)

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  (IAIN)
PONTIANAK
TAHUN AKADEMIK
2015/2016





BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi mukallaf,  yaitu bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Aktivititas seorang muslim selalu terikat dengan hukum syara.Hukum syara ini mengikat aktivitas kita, baik perkataan kita, perbuatan kita harus memiliki dasar hukum syara yang jelas, apakah terkategori wajib, mubah, mandub, makruh, dan haram. semua ini disebut dengan ahkmul khamsah. kenapa sih harus terikat? keterikatan kita kepada hukum syara lah yang menandakan bahwa kita adalah seorang muslim sejati, muslim sejati dilihat dari indeks ketaatannya kepada hukum syara atau dalam kata lain ketaqwaannya.
Oleh karena itu pemakalah mencoba membuat makalah sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara.

B.Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud dengan hukum syara?
2.Apa saja pembagian hukum syara?
3.Apa yang dimaksud dengan al- hakim,mahkum bih dan mahkum alaih?
4.Apa yang dimaksud dengan ahliyah al-wuju,al ahliyah al-ada,dan awarid al-ahliyah?

C.Tujuan
1.Untuk mengetahui arti dari hukum syara
2. Untuk mengetahui apa saja pembagian dari hukum syara
3. Untuk mengetahui arti dari al- hakim,mahkum bih dan mahkum‘alaih
4.Untuk mengetahui arti dari ahliyah al-wuju,al ahliyah al-ada,dan awarid al-ahliyah
D.Manfaat
Mudah-mudahan Anda dapat memahami secara menyeluruh apa yang diuraikan dalam bagian ini, sebab pemahaman tersebut akan menjadi dasar dalam memahami, memutuskan dan mengaplikasikan hukum dalam kehidupan sehari-hari.




BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian dan Pembagian Hukum
1. Pengertian Hukum Syara
Hukum syara adalah kata majemuk yang tersusun dri kata hukum dan syara. Kata hukum berasal dari bahasa Arab yang secara bahasa berarti memutuskan, menetapakan, dan menyelesaikan. Sedangkan kata syari secara bahasa berarti jalan yang biasa dilalui oleh air. Maksudnya adalah jalan yang dilalaui untuk menuju kebahagiaan dunia akhirat .Dengan demikian kata hukum syari dapat diartikan sebagai peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini, berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama islam.[1]
Sedangkan menurut pendapat lain,hukum syara adalah khitab pencipta syariat yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,yang mengandung suatu tuntutan,atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab,syarat,atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.
Menurut tarif tersebut di atas bahwa,setiap khitab syari yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia-bukan berhubungan dengan itikad atau akhlak-yang menuntut agar dilakukan suatu perintah atau ditinggalkan suatu larngan atau yang memberikan pilihan antara mengerjakan dan meninggalkan atau yang menjadikan sesuatu itu menjadi sebab,syarat atau penghalangbagi sesuatu yang lain di sebut hukum syari.
Misalnya firman Tuhan:
……….dan dirikanlah sembahyang,sungguh sembahyang itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.
Ini berarti khithab syari(pencipta hukum)yang menuntut agar sembahang itu di kerjakan.Karena itu ia adalah hukum syari.
Firman Tuhan:’’hai orang-orang yang beriman,janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain,karena boleh jadi mereka lebih baik dari mereka’’(al-hujarat:11)
Ini berarti menuntut kita agar meniggalkan menghina suatu kaum.
Firman Tuhan:………….karena itu barang siapa di antara kamu menyaksikan bulan berpuasalah (al-Baqarah:185)
Adalah khithab syari perihal penyksian bulan yang dijadikan sebab adanya kewajiban berpuasa
Dan sabda Rasulullah saw: Allah tidak menerima shalat dari salah seorang dari kamu bila berhadats,sehingga ia berwudhu(Rw.Bukhari)
Adalah perihal wudhu yang dijadikan syarat untuk sahnya shalat.
Demikian juga sabda Rasulullah saw:”orang muslim tidak dapat mempusakai harta peninggalan orang kafir dan orang kafir tidak dapat mempusakai harta peninggalan orang muslim”.(Rw.Arbaah)
Adalah perihal berlainan agama tidak dapat pusaka mempusakai.[2]

2.Pembagian Hukum Syara
Hukum syara dibagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.[3] Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa pembagian hukum syara dibagi menjadi dua aspek,yaitu: dari aspek khithab dan aspek lafadz yang menjadi sandaran.[4]
a.    Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah khithab syari yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan untuk antara dikerjakan dan ditinggalkannya.
b.    Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah khithab syari yang mengndung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu ialah sebagai sebab,syarat atau penghalang sesuatu.
Adapun pendapat lain mengenai pengertian hukum wadh’i adalah hukum yang dipilih oleh pemilik kekuasaan(pemerintah) dalam masyarakat tentang aturan-aturan yang mereka setujui sebagai rujukan bagi mereka dan melaksanakan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hukum itu.[5]

Adapun hukum syara dari aspek khithab adalah dibagi menjadi dua yaitu:
a.       Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah seruan Allah yang berkaitan dengan perbuatan manusia,baik yang berkaitan dengan tuntutan(iqtidha) maupun pilihan(takhyir) adlah seruan yang menjelaskan hukum-hukum perbuatan manusia.
b.      Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah seruan pembuat syariat yang menjelaskan berbagai perkara yang dituntut oleh hukum perbuatan manusia.
Sedangkan hukum syara dari aspek lafadz yang menjadi sandaran ,dibagi menjadi tiga,yaitu: hukum khusus(al-Hukm al-Khash,hukum umum(al-Hukm al-Am),dan hukum kulli[6]

B.Unsur-unsur Al-Hukm
1. Al-Hakim (Pencipta Hukum)
Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa hakikat hukum syar’i itu ialah khitab Allah yang berhubungan dengan amal perbuatan orang mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu menjadi sebab, syarat atau mani’ bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada perselisihan diantara mereka bahwa yang memberikan khitab itu adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Baik dia sendiri yang menciptakan khitab itu dengan mewahyukan kepada para rasul atau memberikan petunjuk kepada para mujtahid hukum-hukum yang harus dikerjakan oleh orang mukallaf.
Argumentasi yang di kemukakan oleh jumhur ulama dalam menetapkan bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah, ialah firman Allah:
“....... Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (al-an’am : 57)
Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama ialah apakah akal itu dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf dengan tidak melalui rasul-rasul Allah dan Kitab-Kitab-Nya? Dengan lain perkataan apakah orang yang tidak mendapat da’wah Rasulullah itu dengan akalnya semata-mata dapat mengetahui hukum-hukum Allah?


Dalam masalah ini terdapat 3 madzab.
a.       Mazhab Asya’irah, yaitu pengikut Abul Hasan al-Asy’ari (lahir 874M ). Madzhab ini berpendapat bahwa akal itu tidak dapat mengetahui hukum-hukum Allah selain dengan perantaraan rasul-rasul dan kitab-kitab-Nya. Sebab penilaian akal tiap-tiap orang terhadap perbuatan tiap-tiap orang makallaf itu berbeda satu sama lain. Sebagian menilainya baik dan sebagian yang lain menilainya tidak baik, bahkan akal seseorang saja kadang berbeda-beda menilai suatu perbuatan.banyak terjadi bahwa pernilaian akal itu dipengaruhi oleh hawa nafsunya, sehingga suatu perbuatan itu di anggap baik atau buruk karena terpengaruh oleh hawa nafsu. Atas dasar itu tidak selalu di benarkan bahwa apa yang di nilainya baik ole akal di anggap baik oleh Tuhan dan harus di kerjakan dan orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala, dan apa yang di nilai buruk oleh akal dianggap buruk oleh Tuhan dan harus di tinggalkan serta orang yang melakukannya akan mendapat siksa.
Pendiri yang asasi dari mazhab ini menetapkan bahwa perbuatan orang mukallaf itu di katakan baik apabila syari’ menetapkan baiknya atau membolehkan atau memerintahkan untuk di kerjakannya dan dikatakan buruk apabila syari’menetapkan keburukannya atau menuntut agar perbuatan itu di tinggalkannya. Jadi, ukuran untuk menetapkan baik atau buruknya perbuatan itu adalah syara’ , bukan akal manusia. Pendirian madzhab ini sejalan dengan pendirian sebagian ulama ahli akhlaq (ethika ) yang menetapkan ukuran baik atau buruk itu ialah peraturan (undang-undang). Oleh karena itu, apa yang di perintahkan atau diizinkan  oleh peraturan untuk dilakukan adalah baik dan apa yang dilarangnya adalah buruk.
Seseorang tidak mendapat beban dari Allah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkanny, kucuali apabila ia mendapat da’wah dari Rasul atau mendapat ketetapan dari syari’at, dan ia tidak akan berpahala karena melakukannya atau di siksa karena meninggalkannya, kecuali apabila ia telah mengetahui melalui Rasulullah apa yang harus di kerjakan dan apa yang harus di tinggalkan. Oleh karena itu orang hidup menyendiri yang tidak pernah mendapat da’wah dari Rasulullah dan tidak pernah menerima sayari’at adalah bukan orang mukallaf ( yang mendapat beban kewajiban ). Ia tidak berhak mendapat pahala sebagaimana halnya ia tidak dapat disiksa. Mereka mengutakan pendapatnya dengan mengemukakan ayat Al-Qur’an:
“Dan kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutuskan seorang Rasul”             (al-Isra’ : 15 )
b.      Mazhab Mu’tazilah yang di pelopori oleh Washil bin Atha’ (700-749 M) berpendapat bahwa akal itu dapat mengetahui baik atau buruknya perbuatan orang-orang mukallaf sebelum diturunkan wahyu atau sebelum ada nash untuknya.
Menurut mereka perbuatan-perbuatan orang mukallaf itu dapat dihukumi baik
Atau buruknya berdasarkan salah satu dari tiga penetapan berikut:
1)      Ditetapkan oleh akal secara dharuri, yakin dengan tidak usah mengadakan penyelidikan secara mendalam,akal umum akan menerimanya. Misalnya memberi derma kepada orang yang sangat memerlukan, menolong orang yang sedang tersiksa dan berlaku jujur dalam segala ucapan dan perbuatan adalah perbuatan-perbuatan yang baik, dan mengambilmilik orang lain, membunuh orang tanpa hak, memfitnah, dan berhianat dan menipu adalah perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
2)      Ditetapkan oleh akal secara nazhari, yakni yang masih memerlukan pemikiran dan penerungan yang sedalam-dalamnya. Misalnya bohong yang dapat menarik manfaat ada;ah baik dan jujur yang mebawa mudharat adalah tidak baik. Sebagai contoh bohong yang dapat manarik manfaat seperti seseorang yang sedang melerai kedua orang yang betengkar mengatakan kepada masing-masing yang betengkar adalah benar, agar segera tercipta sesuatu perdamaian diantara mereka. Contoh jujur yang membawa mudharad seperti tentara yang ditangkap oleh lawannya, kemudian setelah ditanya jumlah kekuatan kawannya dan dimana tempat persembunyian terus mengaku secara jujur, maka pengakuan yang jujur ini justru akan membawa ke mudharatan bagi dirinya sendiri dan kesatuannya. Jujur dalam situasi demikian ini adalah tidak baik.
3)      Ditetapkan secara sama’i,  yaitu berdasarkan pada apa yang telah ditetapkan oleh nash. Miasalny kebaikan menjalankan shalat,puasa,haji,dan ibadah-ibadah yang lain dan kejelekan minuman kharm, melakukan judi , dan sebagainya.
Menurut golongan Mu’tazilah akal itu juga dapat mengetahui hukum-hukum Tuhan, mengingat bahwa akal itu dapat digunakan untuk menentukan baik buruknya perbuatan ini sendiri. Oleh karena itu, maka orang mukallaf itu adalah wajib melakukan perbuatan yang baik sesuai dengan pernilaian akalnya dan waajib meninggalkan perbuatan yang buruk bila akal mencela perbuatan itu. Tuhan akan memberi pahala atas perbuatan yang dianggap baik oleh akal dan akan meberi azab atas melakukan perbuatan yang buruk menurut penilaian akal, sebagaimana halnya Allah akan memperhitungkan perbuatan-perbuatan tersebut menurut ketetapan syara’.
c.       Golongan jumhur berpendapat bahwa pada prinsipnya, akal itu dapat untuk mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan, akan tetapi perbuatan itu sendiri tidak akan diberi pahala atau siksa bagi orang yang mengerjakannya atau meningalkannya, selama belum ada ketetapan dari syari’at.[7]

2. Mahkum Fih (Perbuatan Hukum)
a.    Ta’rif.
Yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum (perbuatan hukum).
Telah menjadi ijma’ seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada perbuaatan. Artinya beban itu erat hubungannya dengan orang mukallaf. Oleh karena itu, apabila syari’ mewajibkan atau mensunatkan sesuatu perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu tak lain adalah perbuatan yang harus atau seyogianya dikerjakan. Sebab larangan itu sebanarnya adalah manahan nafsu dari melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau di makruhkan. Dengan demikian seluruh perintah atau larangan itu adalah bertautan dengan perbuatan orang mukallaf.
b.   Syarat-syarat perbuatan hukum
Perbuatan yang dibebankan (perbuatan hukum) kepada orang mukallaf itu mempunyai 3 syarat.
1)   Perbuatan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat mengerjakannya sesuai dengan tuntutan. Oleh karana itu, nash-nash Al-Qur’an yang masih mujmal tidak dibebankan kepada orang mukallaf, kecuali setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah saw. Misalnya perintah menjalankan shalat di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan syarat, rukun dan cara-cara menjalankannya, tetapi setelah adanya penjelasan dari Rasullah saw. Barulah dibebankan kepada orang mukallaf.
2)   Hendaklah diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai kekuasaan memberi beban dan dari pihak yang wajin diikuti segala hukum-hukum yang dibuatnya. Keperluan mengetahui hal ini adalah agar orang mukallaf mematuhinya.
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan mengetahui apa yang dibebankan kepada orang mukallaf ialah adanya kemungkinan bahwa seseorang dapat mengetahui, bukan benar-benar mengetahui secara pasti dan meyakinkan. Atas dasar itulah apabila seseorang telah dewasa dan berakal yang sempurna yang sanggup mengetahui hukum-hukum syara’ dengan akalnya itu atau telah mendapat keterangan dari orang yang telah mengerti, maka dianggaplah ia telah mengetahui apa yang dibebankan kepadanya dan karenanya ia harus melaksanakannya. Ia tidak dibenarkan tidak melaksanakannya dengan asalan bahwa ia belum mengetahuinya atau belum pernah mendengarnya. Dalam masalh semacam ini para ulama faqaha membuat ketentuan:
“Di Negeri Islam alasan (dakwaan) belum/tidak mengetahui hukum-hukum syari’at tidak dapat diterima”.
3)   Perbuatan itu adalah perbuatan yang dapat dikerjakan atau boleh ditinggalkan oleh orang mukallaf.
Syarat yang terakhir ini mengandung dua ketentuan.
a)      Tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil dapat dilakukan sanakan, baik mustahil menurut logika maupun menurut adat kebiasaan. Yang dimaksud dengan beban yang mustahil dilaksanakan menurut logika adalah bahwa perbuatan yang dibebankan itu, menurut logika, tidak dapat dikerjakan oleh perbuatan dan melarangnya perbuatan itu juga dalam waktu yang bersamaan. Misalnya mewajibkan kepada seseorang suatu perbuatan dan melanggarnya perbuatan itu juga dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan yang dimaksud dengan beban yang mustahil dilaksanakan menurut adat kebiasaan adalah bahwa beban itu menurut logika dapat dilaksanakan akan tetapi menurut adat kebiasaan tidak dapat dijangkau. Misalnya memerintahkan seseorang terbang di udara tanpa kapal terbang atau kendaraan ruang angkasa.
b)      Tidak sah memberikan suatu beban yang beban itu kepada orang lain diperintahkan untuk dilaksanakan dan kepada orang lain lagi diperintahkan untuk meninggalkannya. Karena beban yang diperintahkan kepada orang lain lagi diperintahkan meningalkannya adalah merupakan beban yang tidak mungkin dikerjakan.
Di atas telah diterangkan bahwa perbuatan-perbuatan yang dibebankan kepada orang mukallaf itu hendaklah perbuatan-perbuatan yang dapat dilaksanakan atau dijangkau oleh mereka. Yang demikian itu tidak berarti bahwa perbuatan itu tidak mengandung kesukaran -sama sekali. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa kesukaran-kesukaran itu ada dua macam, Yakni :
-     Kesukaran (masyaqqah) yang biasa diderita oleh orang mukallaf dalam batas kemampuannya. Biarpun kesukaran-kesukaran itu ada pada manusia, akan tetapi tidak sampai membawa mudharat(bahaya) bagi diri, jiwa dan harta bendanya.
-     Kesukaran di luar kemampuan orang mukallaf yang tidak mungkin dapat ditanggung terus-menerus. Sebab kalau kesukaran-kesukaran itu selalu ada pada orang mukallaf, maka akan memudharatkan diri, jiwa dan harta benda mereka.[8]
 3.Mahkum ‘Alaih (Orang yang diberi beban hukum)
a.    Ta’rif
Mahkum ‘Alaih ialah orang-orang mukallaf menerima beban hukum .
b.   Syarat-syarat menerima beban
Syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam. Yakni :
1)   Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan. Yakni sanggup memahami sendiri atau dengan oerantara orang lain nash-nash Al-Qur’an dan As-sunnah. Karena orang yang tidak sanggup memahami khitab, baik langsung maupun dengan perantara niscaya tidaklah akan tergerak hatinya untuk mematuhi tuntutan syara’ dan tidak akan dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan. Kesangupan memahami khitab-khitab taklif itu hanya terletak kepada akal dan nash-nash yang dibebankan kepada ahli figh adalah untuk dipahaminya. Sebab akal itu merupakan alat untuk memahami dan menyerap, dan aal itu pula yang mendorong manusia berkehendak untuk mematuhinya. Oleh karena itu orang gila dan anak-anak yang belum dewasa belum dibabani suatu taklif karena keduanya belum sanggup memahami khitab-khitab untuk membina ketaatan kepada syari’. Demikian juga orang yang dalam keadaan lupa, sedang tidur atau sedang mabuk tidak dibebani suatu kewajiban, karena pada saat itu mereka tidak sanggup memahami khitab. Adapun pembebanan wajib zakat , nafaqah dan ganti rugi atas tindakan anak yang belum dewasa dan orang gila sebenarnya bukan pemberian beban kepada mereka, akan tetapi merupakan pemberian beban kepada para wali mereka dalam menunaikan hak wajib kebendaan. Bagi bangsa-bangsa yang tidak mengenal bahasa arab, maka mereka tidak dapat memahami khitab-khitab syara’ yang berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak boleh dibabani taklif, kecuali kalau mereka sanggup memahami khitab-khitab tersebut yang telah diterjemahkan kedalam bahasa mereka yang telah disampaikan oleh para da’i (penganjur) kepada mereka.
2)   Mempunyai kemampuan menerima beban. [9]
C.Ahliyah Al-Wujub,Al-Ahliyah Al-Ada’,dan ‘Awarid Al-Ahliyah
1. Ahliyatul wujub
Ahliyatul wujub(kemampuan menerima hak dan kewajiban), yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban.[10] Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, baik masih kanak-kanak maupun sudah dewasa, baik sempurna akalnya maupun kurang dan baik sehat maupun sakit.
Ahliyah wujub dibagi menjadi dua,yaitu:
a.    ahliyah al-wujub naqish(hukum secara lemah),yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak,tetapi tidak menerima beban.
b.    ahliyah al-wujub kamilah(hukum secara senpurna), kecakapan seorang manusia untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak.[11]
Keadaan manusia itu bila dihubungkan dengan kemampuan menerima hak dan kewajiban ada dua macam.
1)    Adakalanya ahliyatul wujunya kurang sempurna.
Kemampuan seseorang menerima hak dan kewajiba dikatakan kurang sempurna, apabila seeorang hanya panta menerim hak saja,sedang untuk memikul kewajiban belum pantas. Orang yang memiliki ahliyatul wujub yang kurang sempurna itu adalah janin yang dalam kandungan ibunya.
2)    Adakalanya ahliyatul wujubnya itu sempurna.
Kemampuan menerima hak dan kewjiban itu dikatakan sempurna adalah bila seseorang sudah pantas menerima dan memikul suatu kewajiban. Kemampuan ini melekat sejak mausia dilahirkan sampai meninggal dunia. Dalam keadaan bagaimanapun juga, selama manusia itu masih hidup, dia memiliki ahliyatul wujub yang sempurna.[12]
2. Ahliyatul ada’
Ahliyatul ada’(kemampuan berbuat), ialah kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya.Misalnya bila ia mengadakan suatu perjanjian atau perikatan, tindakan-tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat hukum. Apabila ia melakukan perbuatan-perbuatan seperti shalat, puasa, haji atau perbuatan wajib yang lain, maka perbuatan-perbuatan itu dianggap sah dan ia telah menunaikan kewajibannya yang dapat mengugurkan tanggungan. Apabila ia melakukan tindakan pidana terhadap nyawa atau harta milik orang lain, maka ia dapat dikenai pidana badan atau pidana harta (benda/ganti rugi). Dengan demikian ahliyatul ada’ itu adalah soal pertanggung jawaban dan asanya adalah cakap berindak (berakal).[13]
Ahliyatul ada’dibagi menjadi tiga,yaitu:
a.    adim al-ahliyah(tidak cakap sama sekali),yaitu dari semenjak lahir sampai berumur 7 tahun.
b.    ahliyah al-ada naqishah(cakap berbuat hokum scara lemah),yaitu dari umur 7tahun sampai batas dewasa
c.    ahliyah al-ada kamilah(cakap berbuat hokum secara sempurna),yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.[14]
Keadaan manusia itu bila dihubungkan dengan ahliyatul ada’ ada tiga macam.
1) Adakalanya seseorang itu tidak mempunyai ahliyatulada’ sedikitpun. Misalnya nak yang belum dewasa dan dan orang gila. Oleh karena keduanya dianggap belum atau tidak mempunyai akal, maka mereka tidak mempunyai kemampuan berbuat. Segala tutur kata dan tingkah laku mereka tidak dapat menimbulkan akibat hukum.
 2) Adakalanya seseorang itu mempunyai ahliyatul ada’ kurang sempurna. Seperti anak yang kurang mumayyiz, yakni anak yang sudah dapat membedakan baik atau buruknyasuatu perbuatan dan manfaat atau tidaknyaperbuatan itu, akan tetapi pengatuhannya belum kuat (7-15 tahun).
 3) Adakalanya seseorag itu mempunyai ahliyatul ada’ yang sempurna. Yaitu orang yang telah dewasa lagi berakal.
Pada prinsipnya kemampuan berbuat (ahliyatul ada) seseorang itu diukur dengan kesempurnaan akal seseorang dan kesempurnaan akal seseorang itu diukur dengan kedewasaannya. Sebab kedewasaannya itu menunjukkan bahwa akalnya telah sempurna.[15]
3.Awarid Al-Ahliyah
Awaridhul-ahliyah adalah hal-hal yang menghalangi kemampuan bertindak.Adapun perbedaannya dengan mani’(penghalang) adalah ruang lingkup awridhul-ahliyah ini lebih luas jika dbandingkan dengan ruang lingkup mani’(penghalang) yang hanya mencakup secara khusus saja.Hal-hal yang menghalangi kemampuan bertindak dibagi menjadi dua macam.Yakni “Samawiyah dan Kasabiyah”.
Yang disebut halangan samawiyah ialah hal-hal yang berada di luar usaha dan ikhtiyar manusia. Halangan samawiyah itu ada 10 macam, yakni:
a.Keadaan belum dewasa;
b.Sakit gila;
c.Kurang akal;
d.Keadaan tidur;
e.Pingsan;
f.Lupa;
g.Sakit;
h.Menstruasi;
i.Nifas dan;
j.Meninggal dunia.
   Yang disebut halangan kasabiyah adalah perbuatan-perbuatan yang diusahakan oleh manusia yang menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak. Halangan kasabiyah itu ada 7 macam, yakni:
a.boros;
b.Mabuk;
c.Berpergian;
d.Lalai;
e.Bergurauan (main-main);
f.Bodoh (tidak mengetahui) dan;
g.Terpaksa.
            Halangan-halangan yang menimpa kepada kemampuan bertindak itu mempunyai daya kekuatan yang berbeda-beda.
1)      Dapat menghilangkan kemampuan bertindak sama sekali.
2)      Dapat mengurangi kemampuan bertindak, akan tetapi tidak sampai menghilang sama sekali.
3)      Tidak mempunyai pengaruh untuk menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak, akan tetapi hanya merubah ketentuan hukum.[16]






















BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Hukum syara adalah peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia (perbuatan orang-orang mukallaf)yang mengandung suatu tuntutan,atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab,syarat,atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain. Hukum syara dibagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadhi.
Hukum taklifi adalah khithab syari yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan untuk antara dikerjakan dan ditinggalkannya.
Hukum wadh’i adalah khithab syari yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu ialah sebagai sebab,syarat atau penghalang sesuatu.
Unsur-unsur al-hukm meliputi:al-hakim,mahkum fih,dan mahkum‘alaih.
Al-Hakim adalah pencipta hukum yaitu Allah SWT.
Mahkum fih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hokum (perbuatan hukum).
Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang menerima beban hukum.

Ahliyatul wujub(kemampuan menerima hak dan kewajiban), yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban.
Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat), ialah kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya.
Awaridhul-ahliyah adalah hal-hal yang menghalangi kemampuan bertindak .







DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman,Hafidz.2003.Ushul Fiqh:membangun paradigma berfikir tasyri.Bogor:Al Azhar Press
As-Sayis,Muhammad Ali.2003.Sejarah Fikih Islam.Jakarta Timur:Pustaka Al-Kautsar
 Harun,Nasrun.1997.Ushul Fiqih.Ciputat:Pt Logos Wacana Ilmu
Shidiq,Sapiudin.2011.Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana Prenada
Suyatno.2011.Dasar-dasar ushul fiqh dan ilmu fiqh.Yogyakarta:Ar-Ruzz Media
Syarifuddin,Amir.2011.Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana
Yahya,Mukhtar,Fatchurrahman.1997.Dasar-dasar pembinaan hukum fiqh islami.Bandung:Al Ma’arif













[1] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih 1 hal.333
[2] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam hal.121-123
[3] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih 1 hal.336
  Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam hal.124
  Sapiudin Shidiq,Ushul Fiqh,hal.121
  Nasrun,Hasrun,Ushul Fiqh,hal.
  Suyatno,Dasar-dasar Ilmu Fiqh&Ushul Fiqh,hal.111
[4] Hafidz Abdurrahman,Ushul Fiqih hal.33&52
[5] Muhammad Ali As-Sayis,Sejarah Fikih Islam hal.12
[6] Hafidz Abdurrahman,Ushul Fiqih hal.52-54
[7] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam hal.157-160
[8] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam hal.161-163
[9] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam hal.164-165
[10] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam hal. 165
  Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih 1 hal.425
[11] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih 1 hal.426
[12] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam hal.165-166
[13] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam hal.165
[14] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih 1,hal. 427-429

[15] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam hal.166
[16] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam hal.170-171

Tidak ada komentar:

Posting Komentar