HUKUM SYARA
Dosen penganmpu
: 1. Hamka Siregar, M.Ag.
2.Nurul
Rahmawati, S.Pdi, M.HI
Disusun
oleh
Kelompok 3
Kelas
1A
1.
Agustiana (11523210)
2.
Andika
Agust D.M (11523189)
3.
Andri
Gussiyarno (11523142)
FAKULTAS
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN
PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
TAHUN
AKADEMIK
2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat
penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi mukallaf, yaitu bagi orang
yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan
dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Aktivititas seorang muslim selalu terikat dengan hukum syara.Hukum syara ini mengikat aktivitas kita, baik
perkataan kita, perbuatan kita harus memiliki dasar hukum syara yang jelas, apakah terkategori wajib, mubah, mandub,
makruh, dan haram. semua ini disebut dengan ahkmul khamsah. kenapa sih harus
terikat? keterikatan kita kepada hukum
syara lah yang menandakan bahwa kita adalah seorang muslim sejati,
muslim sejati dilihat dari indeks ketaatannya kepada hukum syara atau dalam kata lain
ketaqwaannya.
Oleh karena itu pemakalah mencoba
membuat makalah sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum
syara.
B.Rumusan
Masalah
1.Apa
yang dimaksud dengan hukum syara?
2.Apa
saja pembagian hukum syara?
3.Apa
yang dimaksud dengan al- hakim,mahkum bih dan mahkum alaih?
4.Apa yang dimaksud dengan ahliyah al-wuju,al ahliyah al-ada,dan
awarid al-ahliyah?
C.Tujuan
1.Untuk
mengetahui arti dari hukum syara
2.
Untuk mengetahui apa saja pembagian dari hukum syara
3. Untuk mengetahui arti dari al-
hakim,mahkum bih dan mahkum‘alaih
4.Untuk mengetahui arti dari ahliyah al-wuju,al ahliyah al-ada,dan
awarid al-ahliyah
D.Manfaat
Mudah-mudahan Anda
dapat memahami secara
menyeluruh apa yang diuraikan dalam bagian ini, sebab pemahaman tersebut akan menjadi dasar dalam
memahami, memutuskan dan mengaplikasikan hukum dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian dan Pembagian
Hukum
1. Pengertian Hukum Syara
Hukum syara adalah kata majemuk yang tersusun dri kata hukum
dan syara. Kata hukum berasal dari bahasa Arab yang secara bahasa berarti memutuskan, menetapakan, dan
menyelesaikan. Sedangkan kata syari secara bahasa berarti jalan yang biasa dilalui
oleh air. Maksudnya adalah jalan yang dilalaui untuk menuju kebahagiaan dunia
akhirat .Dengan demikian kata hukum syari dapat diartikan sebagai peraturan
berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan
diyakini, berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama islam.[1]
Sedangkan menurut pendapat lain,hukum syara adalah
khitab pencipta syariat yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf,yang mengandung suatu tuntutan,atau pilihan atau yang menjadikan
sesuatu sebagai sebab,syarat,atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.
Menurut tarif tersebut di atas bahwa,setiap khitab
syari yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia-bukan berhubungan dengan
itikad atau akhlak-yang menuntut agar dilakukan suatu perintah atau
ditinggalkan suatu larngan atau yang memberikan pilihan antara mengerjakan dan
meninggalkan atau yang menjadikan sesuatu itu menjadi sebab,syarat atau
penghalangbagi sesuatu yang lain di sebut hukum syari.
Misalnya firman Tuhan:
……….dan dirikanlah
sembahyang,sungguh sembahyang itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.
Ini berarti khithab syari(pencipta hukum)yang menuntut agar
sembahang itu di kerjakan.Karena itu ia adalah hukum syari.
Firman Tuhan:’’hai orang-orang
yang beriman,janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain,karena boleh
jadi mereka lebih baik dari mereka’’(al-hujarat:11)
Ini berarti menuntut kita agar meniggalkan menghina suatu kaum.
Firman Tuhan:………….karena itu
barang siapa di antara kamu menyaksikan bulan berpuasalah (al-Baqarah:185)
Adalah khithab syari perihal penyksian bulan yang dijadikan sebab
adanya kewajiban berpuasa
Dan sabda Rasulullah saw: Allah
tidak menerima shalat dari salah seorang dari kamu bila berhadats,sehingga ia
berwudhu(Rw.Bukhari)
Adalah perihal wudhu yang dijadikan syarat untuk sahnya shalat.
Demikian juga sabda Rasulullah saw:”orang muslim tidak dapat mempusakai harta peninggalan orang kafir dan
orang kafir tidak dapat mempusakai harta peninggalan orang muslim”.(Rw.Arbaah)
Adalah perihal berlainan agama tidak dapat pusaka mempusakai.[2]
2.Pembagian Hukum Syara
Hukum syara dibagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum
wadh’i.[3]
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa pembagian hukum syara dibagi menjadi
dua aspek,yaitu: dari aspek khithab dan aspek lafadz yang menjadi sandaran.[4]
a. Hukum
Taklifi
Hukum taklifi adalah khithab syari
yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya
atau yang mengandung pilihan untuk antara dikerjakan dan ditinggalkannya.
b. Hukum
Wadh’i
Hukum wadh’i adalah khithab syari
yang mengndung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu ialah sebagai
sebab,syarat atau penghalang sesuatu.
Adapun pendapat lain mengenai pengertian hukum wadh’i
adalah hukum yang dipilih oleh pemilik kekuasaan(pemerintah) dalam masyarakat
tentang aturan-aturan yang mereka setujui sebagai rujukan bagi mereka dan
melaksanakan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hukum itu.[5]
Adapun hukum syara dari aspek khithab adalah dibagi menjadi dua
yaitu:
a. Hukum
Taklifi
Hukum taklifi adalah seruan Allah
yang berkaitan dengan perbuatan manusia,baik yang berkaitan dengan
tuntutan(iqtidha) maupun pilihan(takhyir) adlah seruan yang menjelaskan
hukum-hukum perbuatan manusia.
b. Hukum
Wadh’i
Hukum wadh’i adalah seruan pembuat
syariat yang menjelaskan berbagai perkara yang dituntut oleh hukum perbuatan
manusia.
Sedangkan hukum syara dari aspek lafadz yang menjadi
sandaran ,dibagi menjadi tiga,yaitu: hukum khusus(al-Hukm al-Khash,hukum
umum(al-Hukm al-Am),dan hukum kulli[6]
B.Unsur-unsur Al-Hukm
1.
Al-Hakim (Pencipta Hukum)
Tidak ada
perselisihan di antara para ulama bahwa hakikat hukum syar’i itu ialah khitab
Allah yang berhubungan dengan amal perbuatan orang mukallaf yang berisi
tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu menjadi sebab, syarat atau mani’ bagi
sesuatu. Demikian juga tidak ada perselisihan diantara mereka bahwa yang
memberikan khitab itu adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Baik dia sendiri yang
menciptakan khitab itu dengan mewahyukan kepada para rasul atau memberikan
petunjuk kepada para mujtahid hukum-hukum yang harus dikerjakan oleh orang
mukallaf.
Argumentasi yang
di kemukakan oleh jumhur ulama dalam menetapkan bahwa satu-satunya Hakim adalah
Allah, ialah firman Allah:
“.......
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan
Dia pemberi keputusan yang paling baik.
(al-an’am : 57)
Adapun yang
diperselisihkan oleh para ulama ialah apakah akal itu dapat mengetahui
hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf dengan tidak
melalui rasul-rasul Allah dan Kitab-Kitab-Nya? Dengan lain perkataan apakah
orang yang tidak mendapat da’wah Rasulullah itu dengan akalnya semata-mata
dapat mengetahui hukum-hukum Allah?
Dalam masalah ini terdapat 3
madzab.
a. Mazhab Asya’irah,
yaitu pengikut Abul Hasan al-Asy’ari (lahir 874M ). Madzhab ini berpendapat
bahwa akal itu tidak dapat mengetahui hukum-hukum Allah selain dengan
perantaraan rasul-rasul dan kitab-kitab-Nya. Sebab penilaian akal tiap-tiap
orang terhadap perbuatan tiap-tiap orang makallaf itu berbeda satu sama lain.
Sebagian menilainya baik dan sebagian yang lain menilainya tidak baik, bahkan
akal seseorang saja kadang berbeda-beda menilai suatu perbuatan.banyak terjadi
bahwa pernilaian akal itu dipengaruhi oleh hawa nafsunya, sehingga suatu
perbuatan itu di anggap baik atau buruk karena terpengaruh oleh hawa nafsu.
Atas dasar itu tidak selalu di benarkan bahwa apa yang di nilainya baik ole
akal di anggap baik oleh Tuhan dan harus di kerjakan dan orang yang
mengerjakannya akan mendapat pahala, dan apa yang di nilai buruk oleh akal
dianggap buruk oleh Tuhan dan harus di tinggalkan serta orang yang melakukannya
akan mendapat siksa.
Pendiri yang
asasi dari mazhab ini menetapkan bahwa perbuatan orang mukallaf itu di katakan
baik apabila syari’ menetapkan baiknya atau membolehkan atau memerintahkan
untuk di kerjakannya dan dikatakan buruk apabila syari’menetapkan keburukannya
atau menuntut agar perbuatan itu di tinggalkannya. Jadi, ukuran untuk
menetapkan baik atau buruknya perbuatan itu adalah syara’ , bukan akal manusia.
Pendirian madzhab ini sejalan dengan pendirian sebagian ulama ahli akhlaq
(ethika ) yang menetapkan ukuran baik atau buruk itu ialah peraturan
(undang-undang). Oleh karena itu, apa yang di perintahkan atau diizinkan oleh peraturan untuk dilakukan adalah baik
dan apa yang dilarangnya adalah buruk.
Seseorang tidak
mendapat beban dari Allah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkanny,
kucuali apabila ia mendapat da’wah dari Rasul atau mendapat ketetapan dari
syari’at, dan ia tidak akan berpahala karena melakukannya atau di siksa karena
meninggalkannya, kecuali apabila ia telah mengetahui melalui Rasulullah apa
yang harus di kerjakan dan apa yang harus di tinggalkan. Oleh karena itu orang
hidup menyendiri yang tidak pernah mendapat da’wah dari Rasulullah dan tidak
pernah menerima sayari’at adalah bukan orang mukallaf ( yang mendapat beban
kewajiban ). Ia tidak berhak mendapat pahala sebagaimana halnya ia tidak dapat
disiksa. Mereka mengutakan pendapatnya dengan mengemukakan ayat Al-Qur’an:
“Dan
kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutuskan seorang Rasul” (al-Isra’ : 15 )
b. Mazhab Mu’tazilah yang
di pelopori oleh Washil bin Atha’ (700-749 M) berpendapat bahwa akal itu dapat
mengetahui baik atau buruknya perbuatan orang-orang mukallaf sebelum diturunkan
wahyu atau sebelum ada nash untuknya.
Menurut mereka
perbuatan-perbuatan orang mukallaf itu dapat dihukumi baik
Atau buruknya berdasarkan salah
satu dari tiga penetapan berikut:
1) Ditetapkan oleh akal
secara dharuri, yakin dengan tidak usah
mengadakan penyelidikan secara mendalam,akal umum akan menerimanya. Misalnya
memberi derma kepada orang yang sangat memerlukan, menolong orang yang sedang
tersiksa dan berlaku jujur dalam segala ucapan dan perbuatan adalah
perbuatan-perbuatan yang baik, dan mengambilmilik orang lain, membunuh orang
tanpa hak, memfitnah, dan berhianat dan menipu adalah perbuatan-perbuatan yang
tidak baik.
2) Ditetapkan oleh akal
secara nazhari, yakni yang masih memerlukan
pemikiran dan penerungan yang sedalam-dalamnya. Misalnya bohong yang dapat
menarik manfaat ada;ah baik dan jujur yang mebawa mudharat adalah tidak baik.
Sebagai contoh bohong yang dapat manarik manfaat seperti seseorang yang sedang
melerai kedua orang yang betengkar mengatakan kepada masing-masing yang
betengkar adalah benar, agar segera tercipta sesuatu perdamaian diantara
mereka. Contoh jujur yang membawa mudharad seperti tentara yang ditangkap oleh
lawannya, kemudian setelah ditanya jumlah kekuatan kawannya dan dimana tempat
persembunyian terus mengaku secara jujur, maka pengakuan yang jujur ini justru
akan membawa ke mudharatan bagi dirinya sendiri dan kesatuannya. Jujur dalam
situasi demikian ini adalah tidak baik.
3) Ditetapkan secara
sama’i, yaitu berdasarkan pada apa yang telah
ditetapkan oleh nash. Miasalny kebaikan menjalankan shalat,puasa,haji,dan
ibadah-ibadah yang lain dan kejelekan minuman kharm, melakukan judi , dan
sebagainya.
Menurut golongan Mu’tazilah akal itu
juga dapat mengetahui hukum-hukum Tuhan, mengingat bahwa akal itu dapat
digunakan untuk menentukan baik buruknya perbuatan ini sendiri. Oleh karena
itu, maka orang mukallaf itu adalah wajib melakukan perbuatan yang baik sesuai
dengan pernilaian akalnya dan waajib meninggalkan perbuatan yang buruk bila
akal mencela perbuatan itu. Tuhan akan memberi pahala atas perbuatan yang
dianggap baik oleh akal dan akan meberi azab atas melakukan perbuatan yang
buruk menurut penilaian akal, sebagaimana halnya Allah akan memperhitungkan
perbuatan-perbuatan tersebut menurut ketetapan syara’.
c. Golongan jumhur berpendapat
bahwa pada prinsipnya, akal itu dapat untuk mengetahui baik atau buruknya suatu
perbuatan, akan tetapi perbuatan itu sendiri tidak akan diberi pahala atau
siksa bagi orang yang mengerjakannya atau meningalkannya, selama belum ada
ketetapan dari syari’at.[7]
2.
Mahkum Fih (Perbuatan Hukum)
a.
Ta’rif.
Yang dimaksud
dengan mahkum fih adalah
perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum (perbuatan hukum).
Telah menjadi
ijma’ seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada perbuaatan. Artinya
beban itu erat hubungannya dengan orang mukallaf. Oleh karena itu, apabila
syari’ mewajibkan atau mensunatkan sesuatu perbuatan kepada seorang mukallaf,
maka beban itu tak lain adalah perbuatan yang harus atau seyogianya dikerjakan.
Sebab larangan itu sebanarnya adalah manahan nafsu dari melakukan
perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau di makruhkan. Dengan demikian seluruh
perintah atau larangan itu adalah bertautan dengan perbuatan orang mukallaf.
b.
Syarat-syarat
perbuatan hukum
Perbuatan yang dibebankan
(perbuatan hukum) kepada orang mukallaf itu mempunyai 3 syarat.
1) Perbuatan
itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat
mengerjakannya sesuai dengan tuntutan. Oleh
karana itu, nash-nash Al-Qur’an yang masih mujmal tidak dibebankan kepada orang
mukallaf, kecuali setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah saw. Misalnya
perintah menjalankan shalat di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan syarat, rukun
dan cara-cara menjalankannya, tetapi setelah adanya penjelasan dari Rasullah
saw. Barulah dibebankan kepada orang mukallaf.
2) Hendaklah
diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai kekuasaan memberi
beban dan dari pihak yang wajin diikuti segala hukum-hukum yang dibuatnya.
Keperluan mengetahui hal ini adalah agar orang mukallaf mematuhinya.
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud
dengan mengetahui apa yang dibebankan kepada orang mukallaf ialah adanya
kemungkinan bahwa seseorang dapat mengetahui, bukan benar-benar mengetahui
secara pasti dan meyakinkan. Atas dasar itulah apabila seseorang telah dewasa
dan berakal yang sempurna yang sanggup mengetahui hukum-hukum syara’ dengan
akalnya itu atau telah mendapat keterangan dari orang yang telah mengerti, maka
dianggaplah ia telah mengetahui apa yang dibebankan kepadanya dan karenanya ia
harus melaksanakannya. Ia tidak dibenarkan tidak melaksanakannya dengan asalan
bahwa ia belum mengetahuinya atau belum pernah mendengarnya. Dalam masalh
semacam ini para ulama faqaha membuat ketentuan:
“Di
Negeri Islam alasan (dakwaan) belum/tidak mengetahui hukum-hukum syari’at tidak
dapat diterima”.
3) Perbuatan
itu adalah perbuatan yang dapat dikerjakan atau boleh ditinggalkan oleh orang
mukallaf.
Syarat yang terakhir ini mengandung
dua ketentuan.
a) Tidak dibenarkan
memberi beban yang mustahil dapat dilakukan sanakan, baik
mustahil menurut logika maupun menurut adat kebiasaan. Yang dimaksud dengan
beban yang mustahil dilaksanakan menurut logika adalah bahwa perbuatan yang
dibebankan itu, menurut logika, tidak dapat dikerjakan oleh perbuatan dan
melarangnya perbuatan itu juga dalam waktu yang bersamaan. Misalnya mewajibkan
kepada seseorang suatu perbuatan dan melanggarnya perbuatan itu juga dalam
waktu yang bersamaan. Sedangkan yang dimaksud dengan beban yang mustahil
dilaksanakan menurut adat kebiasaan adalah bahwa beban itu menurut logika dapat
dilaksanakan akan tetapi menurut adat kebiasaan tidak dapat dijangkau. Misalnya
memerintahkan seseorang terbang di udara tanpa kapal terbang atau kendaraan
ruang angkasa.
b) Tidak sah memberikan
suatu beban yang beban itu kepada orang lain diperintahkan untuk dilaksanakan
dan kepada orang lain lagi diperintahkan untuk meninggalkannya.
Karena beban yang diperintahkan kepada orang lain lagi diperintahkan
meningalkannya adalah merupakan beban yang tidak mungkin dikerjakan.
Di atas telah diterangkan bahwa
perbuatan-perbuatan yang dibebankan kepada orang mukallaf itu hendaklah
perbuatan-perbuatan yang dapat dilaksanakan atau dijangkau oleh mereka. Yang
demikian itu tidak berarti bahwa perbuatan itu tidak mengandung kesukaran -sama
sekali. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa kesukaran-kesukaran itu ada dua
macam, Yakni :
- Kesukaran
(masyaqqah) yang biasa diderita oleh orang mukallaf dalam batas kemampuannya.
Biarpun kesukaran-kesukaran itu ada pada manusia, akan tetapi tidak sampai
membawa mudharat(bahaya) bagi diri, jiwa dan harta bendanya.
- Kesukaran
di luar kemampuan orang mukallaf yang tidak mungkin dapat ditanggung
terus-menerus. Sebab kalau kesukaran-kesukaran itu selalu ada pada orang
mukallaf, maka akan memudharatkan diri, jiwa dan harta benda mereka.[8]
3.Mahkum ‘Alaih (Orang yang diberi beban
hukum)
a.
Ta’rif
Mahkum ‘Alaih ialah orang-orang mukallaf menerima
beban hukum .
b.
Syarat-syarat
menerima beban
Syarat-syarat sahnya seorang
mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam. Yakni :
1) Sanggup memahami
khitab-khitab pembebanan. Yakni sanggup memahami
sendiri atau dengan oerantara orang lain nash-nash Al-Qur’an dan As-sunnah.
Karena orang yang tidak sanggup memahami khitab, baik langsung maupun dengan
perantara niscaya tidaklah akan tergerak hatinya untuk mematuhi tuntutan syara’
dan tidak akan dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan. Kesangupan memahami
khitab-khitab taklif itu hanya terletak kepada akal dan nash-nash yang
dibebankan kepada ahli figh adalah untuk dipahaminya. Sebab akal itu merupakan
alat untuk memahami dan menyerap, dan aal itu pula yang mendorong manusia
berkehendak untuk mematuhinya. Oleh karena itu orang gila dan anak-anak yang
belum dewasa belum dibabani suatu taklif karena keduanya belum sanggup memahami
khitab-khitab untuk membina ketaatan kepada syari’. Demikian juga orang yang
dalam keadaan lupa, sedang tidur atau sedang mabuk tidak dibebani suatu
kewajiban, karena pada saat itu mereka tidak sanggup memahami khitab. Adapun
pembebanan wajib zakat , nafaqah dan ganti rugi atas tindakan anak yang belum
dewasa dan orang gila sebenarnya bukan pemberian beban kepada mereka, akan
tetapi merupakan pemberian beban kepada para wali mereka dalam menunaikan hak
wajib kebendaan. Bagi bangsa-bangsa yang tidak mengenal bahasa arab, maka
mereka tidak dapat memahami khitab-khitab syara’ yang berupa Al-Qur’an dan
As-Sunnah, tidak boleh dibabani taklif, kecuali kalau mereka sanggup memahami
khitab-khitab tersebut yang telah diterjemahkan kedalam bahasa mereka yang
telah disampaikan oleh para da’i (penganjur) kepada mereka.
2) Mempunyai
kemampuan menerima beban. [9]
C.Ahliyah Al-Wujub,Al-Ahliyah Al-Ada’,dan ‘Awarid Al-Ahliyah
1. Ahliyatul wujub
Ahliyatul wujub(kemampuan menerima hak
dan kewajiban), yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban.[10]
Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, baik
masih kanak-kanak maupun sudah dewasa, baik sempurna akalnya maupun kurang dan
baik sehat maupun sakit.
Ahliyah wujub dibagi menjadi dua,yaitu:
a. ahliyah
al-wujub naqish(hukum secara lemah),yaitu kecakapan seorang manusia untuk
menerima hak,tetapi tidak menerima beban.
b. ahliyah
al-wujub kamilah(hukum secara senpurna), kecakapan seorang manusia untuk
dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak.[11]
Keadaan manusia itu bila dihubungkan
dengan kemampuan menerima hak dan kewajiban ada dua macam.
1) Adakalanya
ahliyatul wujunya kurang sempurna.
Kemampuan seseorang menerima hak
dan kewajiba dikatakan kurang sempurna, apabila seeorang hanya panta menerim
hak saja,sedang untuk memikul kewajiban belum pantas. Orang yang memiliki
ahliyatul wujub yang kurang sempurna itu adalah janin yang dalam kandungan
ibunya.
2) Adakalanya
ahliyatul wujubnya itu sempurna.
Kemampuan menerima hak dan kewjiban
itu dikatakan sempurna adalah bila seseorang sudah pantas menerima dan memikul
suatu kewajiban. Kemampuan ini melekat sejak mausia dilahirkan sampai meninggal
dunia. Dalam keadaan bagaimanapun juga, selama manusia itu masih hidup, dia
memiliki ahliyatul wujub yang sempurna.[12]
2.
Ahliyatul ada’
Ahliyatul ada’(kemampuan
berbuat), ialah kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan
perbuatannya.Misalnya bila ia mengadakan suatu perjanjian atau perikatan, tindakan-tindakan
itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat hukum. Apabila ia melakukan
perbuatan-perbuatan seperti shalat, puasa, haji atau perbuatan wajib yang lain,
maka perbuatan-perbuatan itu dianggap sah dan ia telah menunaikan kewajibannya
yang dapat mengugurkan tanggungan. Apabila ia melakukan tindakan pidana
terhadap nyawa atau harta milik orang lain, maka ia dapat dikenai pidana badan
atau pidana harta (benda/ganti rugi). Dengan demikian ahliyatul ada’ itu adalah
soal pertanggung jawaban dan asanya adalah cakap berindak (berakal).[13]
Ahliyatul ada’dibagi menjadi
tiga,yaitu:
a. adim
al-ahliyah(tidak cakap sama sekali),yaitu dari semenjak lahir sampai berumur 7
tahun.
b. ahliyah
al-ada naqishah(cakap berbuat hokum scara lemah),yaitu dari umur 7tahun sampai
batas dewasa
c. ahliyah
al-ada kamilah(cakap berbuat hokum secara sempurna),yaitu manusia yang telah
mencapai usia dewasa.[14]
Keadaan manusia itu bila dihubungkan dengan ahliyatul ada’
ada tiga macam.
1) Adakalanya
seseorang itu tidak mempunyai ahliyatulada’ sedikitpun. Misalnya nak yang belum
dewasa dan dan orang gila. Oleh karena keduanya dianggap belum atau tidak
mempunyai akal, maka mereka tidak mempunyai kemampuan berbuat. Segala tutur
kata dan tingkah laku mereka tidak dapat menimbulkan akibat hukum.
2) Adakalanya seseorang itu mempunyai
ahliyatul ada’ kurang sempurna. Seperti anak yang kurang mumayyiz, yakni anak
yang sudah dapat membedakan baik atau buruknyasuatu perbuatan dan manfaat atau
tidaknyaperbuatan itu, akan tetapi pengatuhannya belum kuat (7-15 tahun).
3) Adakalanya seseorag itu mempunyai ahliyatul
ada’ yang sempurna. Yaitu orang yang telah dewasa lagi berakal.
Pada prinsipnya
kemampuan berbuat (ahliyatul ada) seseorang itu diukur dengan kesempurnaan akal
seseorang dan kesempurnaan akal seseorang itu diukur dengan kedewasaannya.
Sebab kedewasaannya itu menunjukkan bahwa akalnya telah sempurna.[15]
3.Awarid
Al-Ahliyah
Awaridhul-ahliyah
adalah hal-hal yang menghalangi kemampuan bertindak.Adapun perbedaannya dengan
mani’(penghalang) adalah ruang lingkup awridhul-ahliyah ini lebih luas jika
dbandingkan dengan ruang lingkup mani’(penghalang) yang hanya mencakup secara
khusus saja.Hal-hal yang menghalangi kemampuan bertindak dibagi menjadi dua
macam.Yakni “Samawiyah dan Kasabiyah”.
Yang disebut
halangan samawiyah ialah hal-hal yang berada di luar usaha dan ikhtiyar
manusia. Halangan samawiyah itu ada 10 macam, yakni:
a.Keadaan belum dewasa;
b.Sakit gila;
c.Kurang akal;
d.Keadaan tidur;
e.Pingsan;
f.Lupa;
g.Sakit;
h.Menstruasi;
i.Nifas dan;
j.Meninggal dunia.
Yang disebut halangan kasabiyah adalah
perbuatan-perbuatan yang diusahakan oleh manusia yang menghilangkan atau
mengurangi kemampuan bertindak. Halangan kasabiyah itu ada 7 macam, yakni:
a.boros;
b.Mabuk;
c.Berpergian;
d.Lalai;
e.Bergurauan (main-main);
f.Bodoh (tidak mengetahui) dan;
g.Terpaksa.
Halangan-halangan yang menimpa
kepada kemampuan bertindak itu mempunyai daya kekuatan yang berbeda-beda.
1) Dapat
menghilangkan kemampuan bertindak sama sekali.
2) Dapat
mengurangi kemampuan bertindak, akan tetapi tidak sampai menghilang sama
sekali.
3) Tidak
mempunyai pengaruh untuk menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak,
akan tetapi hanya merubah ketentuan hukum.[16]
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Hukum syara adalah peraturan berdasarkan ketentuan
Allah tentang tingkah laku manusia (perbuatan orang-orang mukallaf)yang
mengandung suatu tuntutan,atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai
sebab,syarat,atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain. Hukum syara dibagi
menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadhi.
Hukum taklifi adalah khithab syari yang mengandung
tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau
yang mengandung pilihan untuk antara dikerjakan dan ditinggalkannya.
Hukum wadh’i adalah khithab syari yang mengandung
pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu ialah sebagai sebab,syarat atau
penghalang sesuatu.
Unsur-unsur al-hukm meliputi:al-hakim,mahkum fih,dan mahkum‘alaih.
Al-Hakim adalah pencipta hukum yaitu Allah SWT.
Mahkum fih adalah
perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hokum (perbuatan hukum).
Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang menerima beban hukum.
Ahliyatul
wujub(kemampuan menerima hak dan kewajiban), yaitu kepantasan seseorang untuk
diberi hak dan kewajiban.
Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat), ialah kepantasan
seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya.
Awaridhul-ahliyah adalah hal-hal yang
menghalangi kemampuan bertindak .
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman,Hafidz.2003.Ushul Fiqh:membangun paradigma berfikir
tasyri.Bogor:Al Azhar Press
As-Sayis,Muhammad Ali.2003.Sejarah Fikih
Islam.Jakarta Timur:Pustaka Al-Kautsar
Harun,Nasrun.1997.Ushul Fiqih.Ciputat:Pt Logos
Wacana Ilmu
Shidiq,Sapiudin.2011.Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana
Prenada
Suyatno.2011.Dasar-dasar ushul fiqh dan
ilmu fiqh.Yogyakarta:Ar-Ruzz Media
Syarifuddin,Amir.2011.Ushul
Fiqh.Jakarta:Kencana
Yahya,Mukhtar,Fatchurrahman.1997.Dasar-dasar pembinaan hukum fiqh
islami.Bandung:Al Ma’arif
[2] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam
hal.121-123
[3] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih 1 hal.336
Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam
hal.124
Sapiudin Shidiq,Ushul Fiqh,hal.121
Nasrun,Hasrun,Ushul Fiqh,hal.
Suyatno,Dasar-dasar Ilmu Fiqh&Ushul Fiqh,hal.111
[4] Hafidz Abdurrahman,Ushul Fiqih hal.33&52
[5] Muhammad Ali As-Sayis,Sejarah Fikih Islam hal.12
[6] Hafidz Abdurrahman,Ushul Fiqih hal.52-54
[7] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam
hal.157-160
[8] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam
hal.161-163
[9] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam
hal.164-165
[10] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam
hal. 165
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih 1 hal.425
[11] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih 1 hal.426
[12] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam
hal.165-166
[13] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam
hal.165
[14] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih 1,hal. 427-429
[15] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam
hal.166
[16] Mukhtar Yahya&Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam
hal.170-171
Tidak ada komentar:
Posting Komentar