Selasa, 25 Oktober 2016

MAKALAH USHUL FIQIH 2: MENASAKH HUKUM



MENASAKH HUKUM


Mata kuliah                : Ushul Fiqh 2
Dosen pengampu       : Dra. Hj. Wagiyem, M. Ag.


Disusun oleh
Kelompok  8
Kelas 2A


1.      Agustiana                           (11523210)
2.      Angga Prasetya                 (11523106)
3.      Marisa                                (11523204)

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  (IAIN)
PONTIANAK
TAHUN AKADEMIK
2015/2016

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumwr.wb.
Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya, makalah ini bias hadir di hadapan anda.
Tak lupa pula, atas kerjasama dan rekan-rekan akhirnya makalah ini bias diselesaikan. Untuk itu, ucapan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kami haturkan kepada dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh 2 yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami untuk membahas materi tentang Menasakh Hukum. Semoga apa yang kami sajikan dalam makalah ini,bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Selain itu, kami juga menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan atau kesalahan yang harus diperbaiki. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan guna perbaikan makalah ini untuk kedepannya. Akhir kata kami mengucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikumwr.wb.


Pontianak,   Maret 2016

Penyusun







BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an sebagi mu’jizat Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi umat Islam selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. Dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an yang didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh Wa al-Mansukh dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah. Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana sebenarnya Al-Nasakh. Namun demikian harus dipahami bahwa makalah ini hanya merupakan acuan dasar yang patut mendapatkan pembahasan dan kajian ulang baik terkait data yang disajikan maupun konten dari makalah..


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan nasakh?
2.      Bagaimana cara menasakh hukum?
3.      Apa saja bentuk-bentuk nasakh?
4.      Apa saja hikmah-hikmah menasakh?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui tentang pengertian nasakh.
2.      Untuk mengetahui tentang cara menasakh hukum.
3.       Untuk mengetahui tentang bentuk-bentuk nasakh.
4.       Untuk mengetahui tentang hikmah dari menasakh.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nasakh
Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan, yang memindahkan, menyalin, mengubah dan menggganti. Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة:yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata نسحت الشمس الظل(Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى موضع.yaitu memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya. Difinisi ini juga merujuk pada QS.al-Jaziyah:29. Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
1.      Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas
.
2.      Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada S. al-Anam:5 dan al-Baqorah :106 رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنهartinya mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya. Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.


B.     Cara Menasakh Hukum
Setelah memahami pengertian Al-Nasak di atas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
1.      Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
2.      Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
3.      Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
4.      Urgensitas Al-Nasakh Wa al-Mansukh Dalam Kajian Hukum Islam terdapat alasan yang mendasar mengapa Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah:
a.       Terkait status hukum Islam.
b.      Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh terkait dalam proses istinbath Hukum.
c.       Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan al-Qur’an.
d.      Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri.
e.       Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad.
f.       Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.
C.      Macam-macam Nasakh
Para ulama membagi Al-Nasakh Wa al-Mansukh menjadi 4 bagian:
1.      Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Jenis Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima. Contoh : Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mujadalah: 12 yang di Nasakh ayat 13.
2.      Nasakh Qur’an dengan Sunah. Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu:
a.       Nasakh Qur’an dengan Hadis Ahad. Menurut Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab Qur’an adalah Muatawatir dan bersifat Qot’I sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni ( Dugaan ). Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di hapus oleh sesuatu yang masih bersifat dugaan (Dzan)
b.      Nasakh Qur’an dengan Hadis Mutawatir. Jumhur ulama’, Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh   Menurut  jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di dukung dengan firman Allah SWT Yang terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4. Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106.
3.      Sunah dengan Qur’an. Bagi Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas keberadaan Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura.
عن عائشة قالت: كان عاشوراء صياما, فلما انزل رمضان كان من شاء صام ومن شاء افطر (رواه بخارى ومسلم)
Artinya : dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa.
Sunah ini di Nasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:185
Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Walaupun demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis ini tidak dapat diterima, sebab antara Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain bagi as-Syafi’i adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan Qur’an. Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh menunjukkan adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan atas Qur’an.


4.      Nasakh Sunah dengan Sunah. Jenis Nasakh ini terdapat 4 macam, yaitu :
a.       Mutawatir dengan Mutawatir.
b.      Ahad dengan Ahad.
c.       Ahad dengan Mutawatir.
d.      Mutawatir dengan Ahad.
Bagi Jumhur ulama’ dari keempat nasakh tersebut tidak menjadi masalah menjadi bagian dari Nasakh dengan kata lain dapat diterima kecuali jenis yang ke empat yaitu Mutawatir dengan Ahad. Argumentasinya tentu tidak terlepas dari tingkat nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya.

D.    Hikmah Menasakh Hukum
1.      Bahwa al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk diketahuai dan diamalkan hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan pahala.
2.      Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT, sebab Nasakh pada dasarnya untuk meringankan. Ketiga Nasakh tilawah sedangkan hukum tetap. Keberadaan Nasakh jenis ini merujuk pada Hadis dari Umar Bin khatob dan Ubay Bin Ka’ab. Yang menyatakan :
كان فيما انزل من القران الشيخ والشيخة اذأ زنيا فارجمو هما البتة نكالا من الله
Artinya :“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah”
Ketentuan hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari lafalnya dalam Mushaf Usmani (al-Qur’an) tentu kita tidak akan menemukannnya, sebab ayat tersebut sudah dimansukh. Namun ketentuan hukumnya ( Rajam bagi orang tua ) masih tetap berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu jenis Nasakh ini tidak dapat di terima, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dan Nasakhnya dengan khabar ahad.
3.      Hukum Allah diturunkan untuk merealisasikan kepentingan hidup manusia. Kepentingan hidup manusia selalu berubah disebabkan bergantinya waktu dan tempat maka nasakh sebagai salah satu jalan untuk memperjelas hukum, hasilnya akan sejalan dengan kepentingan hidup manusia dimana saja manusia hidup.
4.      Keadilan dalam pembentukan hukum diperlukan adanya tahapan, sehingga manusia tidak merasa kaget dantidak merasa berat. Seperti proses kpengharaman khamar.

 
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Nasakh adalah tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun cara menasakh hukum adalah:
1.      Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat. Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
2.      Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
3.      Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
4.      Urgensitas Al-Nasakh Wa al-Mansukh Dalam Kajian Hukum Islam terdapat alasan yang mendasar mengapa Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum.
Adapun bentuk-bentuk nasakh dibagi menjadi 4, yaitu: al-quran dengan al-quran, al-quran dengan as-sunnah, as-sunnah dengan al-quran, dan as-sunnah dengan as-sunnah.
Dengan menasakh hukum, terdapat juga hikmah-hikmahnya, yaitu:
1.      ahwa al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk diketahuai dan diamalkan hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan pahala.
2.      Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT, sebab Nasakh pada dasarnya untuk meringankan.
3.      Hukum Allah diturunkan untuk merealisasikan kepentingan hidup manusia.
4.      Keadilan dalam pembentukan hukum diperlukan adanya tahapan, sehingga manusia tidak merasa kaget dantidak merasa berat.
 

DAFTAR PUSTAKA

Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Group.
Usman, Muhlish. 1996. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar