MENASAKH HUKUM
Mata
kuliah : Ushul Fiqh 2
Dosen pengampu : Dra. Hj. Wagiyem, M. Ag.
Disusun
oleh
Kelompok 8
Kelas
2A
1.
Agustiana (11523210)
2.
Angga Prasetya (11523106)
3.
Marisa (11523204)
FAKULTAS
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN
PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
TAHUN
AKADEMIK
2015/2016
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikumwr.wb.
Alhamdulillah
puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya, makalah ini
bias hadir di hadapan anda.
Tak
lupa pula, atas kerjasama dan rekan-rekan akhirnya makalah ini bias diselesaikan.
Untuk itu, ucapan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kami haturkan kepada dosen
pengampu mata kuliah
Ushul Fiqh 2 yang telah memberikan kesempatan
dan kepercayaan kepada kami untuk membahas materi tentang Menasakh Hukum. Semoga apa
yang kami sajikan dalam makalah ini,bisa bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya.
Selain
itu, kami juga menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan atau
kesalahan yang harus diperbaiki. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun
sangat kami harapkan guna perbaikan makalah ini untuk kedepannya. Akhir kata
kami mengucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikumwr.wb.
Pontianak, Maret
2016
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an
sebagi mu’jizat Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi umat Islam
selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. Dalam menetapkan
dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an, tentunya dibutuhkan
alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an yang didalamnya
terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh Wa al-Mansukh dan
yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah. Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah
satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat
penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum yang
termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Oleh
karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana sebenarnya
Al-Nasakh. Namun demikian harus dipahami bahwa makalah ini hanya merupakan
acuan dasar yang patut mendapatkan pembahasan dan kajian ulang baik terkait
data yang disajikan maupun konten
dari makalah..
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud
dengan nasakh?
2. Bagaimana cara
menasakh hukum?
3. Apa saja
bentuk-bentuk nasakh?
4. Apa saja hikmah-hikmah
menasakh?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian
nasakh.
2. Untuk mengetahui tentang cara
menasakh hukum.
3.
Untuk mengetahui tentang bentuk-bentuk nasakh.
4.
Untuk mengetahui tentang hikmah dari menasakh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasakh
Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus,
menghilangkan, yang memindahkan, menyalin, mengubah dan menggganti. Sejalan
dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam
yaitu : pertama الازلة:yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk
pada dialek orang Arab yang sering berkata نسحت الشمس الظل(Cahaya Matahari
menghilangkan bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى موضع.yaitu memindahkan
sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya. Difinisi ini juga merujuk pada
QS.al-Jaziyah:29. Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan
beberapa pengertian antara lain:
1.
Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil
Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
2.
Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan
menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan
pada S. al-Anam:5 dan al-Baqorah :106 رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنهartinya
mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang
kemudian dari padanya. Dari definisi di atas dapat kita
pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat
dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang
menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
B.
Cara Menasakh
Hukum
Setelah memahami pengertian Al-Nasak
di atas
pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya.
Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa
al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
1.
Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
2.
Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan
ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut
dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak
ulama yang menetapkan hal tersebut.
3.
Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan
mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang
keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
4.
Urgensitas Al-Nasakh Wa al-Mansukh Dalam Kajian Hukum Islam terdapat alasan yang mendasar mengapa
Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat kontribusinya terhadap
proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah:
a.
Terkait status hukum Islam.
b.
Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul,
tafsir dan fiqh terkait dalam proses istinbath Hukum.
c.
Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas
kehujahan al-Qur’an.
d.
Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri.
e.
Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad.
f.
Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.
C.
Macam-macam Nasakh
Para ulama membagi Al-Nasakh Wa
al-Mansukh menjadi 4 bagian:
1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Jenis Nasakh ini memperoleh
kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima. Contoh : Penghapusan kewajiban
bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam surat
al-Mujadalah: 12 yang di Nasakh ayat 13.
2. Nasakh Qur’an dengan Sunah. Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2
macam yaitu:
a. Nasakh Qur’an dengan Hadis Ahad. Menurut Jumhur ulama’ jenis Nasakh
ini tidak diperbolehkan, sebab Qur’an adalah Muatawatir dan bersifat Qot’I
sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni ( Dugaan ). Adalah tidak logis
manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di hapus oleh sesuatu yang
masih bersifat dugaan (Dzan)
b. Nasakh Qur’an dengan Hadis
Mutawatir. Jumhur ulama’, Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh Menurut jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya
adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di dukung dengan firman Allah SWT Yang terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4. Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan
ahli Dzahir menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau
sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106.
3. Sunah dengan Qur’an. Bagi Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini
bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas keberadaan Sunah Riwayat
Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura.
عن عائشة قالت: كان عاشوراء صياما, فلما انزل رمضان كان من شاء صام ومن شاء افطر (رواه بخارى ومسلم)
Artinya : dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa.
Sunah ini di Nasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:185
Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
عن عائشة قالت: كان عاشوراء صياما, فلما انزل رمضان كان من شاء صام ومن شاء افطر (رواه بخارى ومسلم)
Artinya : dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa.
Sunah ini di Nasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:185
Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Walaupun demikian menurut as-Syafi’I
Nasakh jenis ini tidak dapat diterima, sebab antara Qur’an dengan sunah harus
berjalan beriringan dan tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain bagi
as-Syafi’i adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan
Qur’an. Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh
menunjukkan adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita
ketahui keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan atas Qur’an.
4. Nasakh Sunah dengan Sunah. Jenis Nasakh ini terdapat 4 macam,
yaitu :
a. Mutawatir dengan Mutawatir.
b. Ahad dengan Ahad.
c. Ahad dengan Mutawatir.
d. Mutawatir dengan Ahad.
Bagi Jumhur ulama’ dari keempat
nasakh tersebut tidak menjadi masalah menjadi bagian dari Nasakh dengan kata
lain dapat diterima kecuali jenis yang ke empat yaitu Mutawatir dengan Ahad.
Argumentasinya tentu tidak terlepas dari tingkat nilai kebenaran yang terkandung
di dalamnya.
D.
Hikmah Menasakh Hukum
1.
Bahwa al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk
diketahuai dan diamalkan hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan
pahala.
2.
Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT,
sebab Nasakh pada dasarnya untuk meringankan. Ketiga Nasakh tilawah sedangkan
hukum tetap. Keberadaan Nasakh jenis ini merujuk pada Hadis dari Umar Bin
khatob dan Ubay Bin Ka’ab. Yang menyatakan :
كان فيما انزل من القران الشيخ والشيخة اذأ زنيا فارجمو هما البتة نكالا من الله
Artinya :“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah” Ketentuan hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari lafalnya dalam Mushaf Usmani (al-Qur’an) tentu kita tidak akan menemukannnya, sebab ayat tersebut sudah dimansukh. Namun ketentuan hukumnya ( Rajam bagi orang tua ) masih tetap berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu jenis Nasakh ini tidak dapat di terima, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dan Nasakhnya dengan khabar ahad.
كان فيما انزل من القران الشيخ والشيخة اذأ زنيا فارجمو هما البتة نكالا من الله
Artinya :“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah” Ketentuan hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari lafalnya dalam Mushaf Usmani (al-Qur’an) tentu kita tidak akan menemukannnya, sebab ayat tersebut sudah dimansukh. Namun ketentuan hukumnya ( Rajam bagi orang tua ) masih tetap berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu jenis Nasakh ini tidak dapat di terima, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dan Nasakhnya dengan khabar ahad.
3.
Hukum Allah diturunkan untuk
merealisasikan kepentingan hidup manusia. Kepentingan hidup manusia selalu
berubah disebabkan bergantinya waktu dan tempat maka nasakh sebagai salah satu
jalan untuk memperjelas hukum, hasilnya akan sejalan dengan kepentingan hidup
manusia dimana saja manusia hidup.
4.
Keadilan dalam pembentukan hukum diperlukan
adanya tahapan, sehingga manusia tidak merasa kaget dantidak merasa berat.
Seperti proses kpengharaman khamar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nasakh adalah tidak lain sebagai proses
penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan
ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun cara menasakh hukum adalah:
1.
Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat. Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور,
الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul
melarang untuk berziarah kubur.
2.
Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan
ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut
dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak
ulama yang menetapkan hal tersebut.
3.
Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan
mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang
keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
4.
Urgensitas Al-Nasakh Wa al-Mansukh Dalam Kajian Hukum Islam terdapat alasan yang mendasar mengapa
Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat kontribusinya terhadap
proses Istinbath Hukum.
Adapun bentuk-bentuk nasakh dibagi menjadi 4, yaitu: al-quran dengan
al-quran, al-quran dengan as-sunnah, as-sunnah dengan al-quran, dan as-sunnah
dengan as-sunnah.
Dengan menasakh hukum, terdapat juga hikmah-hikmahnya, yaitu:
1.
ahwa al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk
diketahuai dan diamalkan hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan
pahala.
2.
Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT,
sebab Nasakh pada dasarnya untuk meringankan.
3.
Hukum Allah diturunkan untuk
merealisasikan kepentingan hidup manusia.
4.
Keadilan dalam pembentukan hukum
diperlukan adanya tahapan, sehingga manusia tidak merasa kaget dantidak merasa
berat.
DAFTAR PUSTAKA
Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Group.
Usman, Muhlish. 1996. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT Raja Grasindo
Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar